Transformasi Santri | Wawancara bersama Gus Abdul Wahab Jember

Bagaimana Pandangan Panjenegan terkait santri yang sebenarnya ?

Santri itu punya makna umum dan khusus ya. Secara umum santri itu adalah tholabul ilmi, semua thalabul ilmi yang muslim yang belajar agama. Terlepas dia belajarnya secara resmi di pesantren atau dia yang tidak di pesantren juga bisa disebut dengan santri juga. Secara khusus, biasanya istilah santri itu untuk orang yang mondok sedangkan bagi orang yang tidak mondok secara otomatis tidak masuk dalam istilah ini. Meskipun secara umum masuk sama-sama santrinya. Jadi, misalkan mahasiswa yang belajar di UIN itu santri ngk? Dan yang dipelajari juga termasuk ilmu-ilmu agama juga. Sehingga, tergantung kita mau memakai devinisi yang umum atau yang khusus. Jadi, semuanya saya kira memakai devinisi yang umum untuk menyebutkan santri sebagai seorang thalabul ilmi, dalam hal ini ilmu agama dalam berbagai macam bentuknya. Jadi, itu saya kira. Umum sekali mencakup semua pelajar ilmu agama dan itu juga secara umum juga santri ini bisa mencakup waktu si santri aktif mondok atau sudah alumni. Ketika sudah alumni disebut santri atau ngk. Ketika sudah berbaur dengan masyarakat sudah disebut santri atau ngk. Masih punya guru dan sayapun masih santri dari guru saya. Jadi, devinisi umum ini lebih fleksibel dari pada devinisi khusus yang hanya menyebut santri yang masih mondok, sangat sempit sekali. Akan tetapi, kalau kita memakai devinsi umum kita tidak bisa mengenelarisir satu jenis santri saja, satu jenis kepribadian saja tapi itu luas nantinya.sehingga, banyak yang masuk dengan devinisi santri itu.

Apakah santri dulu dengan sekarang berbeda ?

Lagi-lagi, tergantung bagaimana kita mendevinisikan santri itu. Kalau dibilang dulu santri hanya belajar agama satu model salaf saja, saya kira ngk tepat. Dari dulu santri itu belajar macam-macam, pertama, yang jelas belajar ngaji kepada kiainya. Kedua, santri dulu itu bekerja. Ada yang jadi petani, berdagang dan macam-macam. Bahkan, santri dulu itu malah tidak dikirim betul-betul independent. Ketika nyantri keluar mencari guru yang jauh daerah mana itu lepas dari orang tuanya, ngk ada yang dikirim oleh orang tuanya bukan semacam sekarang. Betul-betul pergi rihlah dan mereka mencari makan sendiri. Ada yang bertani, berdagang dan lain sebagainya. Kemudian membaur dengan masyarakat dan akhirnya menikah disitu di daerah baru. Mereka menjadi macam-macam dan dalam sejarah kita kalau di indonesia, istilah santri itu bukan hanya murni belajar. Akan tetapi banyak dari mereka menjadi pejuang (cikal bakal tentara kan santri semua awalnya) menjadi pendekar di masa lalu. Ya mereka ikut perjuangan kegiatan politik seperti kiai hasyim yang kiprah politiknya jelas besar sekali. Jadi, santri itu tidak hanya satu model saja. Setiap zaman itu, santri itu selain belajar agama juga menjadi peran lainnya. Mereka menjadi peran lain yang dibutuhkan di zaman itu, kalau di zaman itu penjajahan mereka ikut membuat anti penjajahan. Kalau sekarang sudah merdeka, bagaimana santri itu mengisi kemerdekaan. Ya, menjadi macam-macam lahh. Saya kira itu tuntutan zaman. Selain belajar mereka juga bisa menjadi sesuatu atau peran-peran khusus yang bisa dicapai. Kalau sekarang harus sekolah bagaimana? Ya, sekolah menjadi keniscayaan akhirnya. Meskipun tidak semua harus sekolahya.

Kalau dulu beda ngk dengan sekarang ? mungkin yang beda adalah jenis perannya. Selain belajar ngapain. Kalau sekarang selain belajar agama ya sekolah. Ya mungkin juga ada yang belajar usaha dan bermacam-macam. Itu tuntutan zaman. Zaman saja yang berubah sedangkan santrinya ya tetap seperti itu.

Bagaimana Menurut Panjenegan Terkait Fenomena Santri Yang Menjadi Akademisi atau pejabat ?

Yaitu, bagian dari keniscayaan. Tidak semua santri itu harus jadi akademisi. tetapi  bukan berarti santri bukan akademisi. Bisa jadi satu sisi santri sisi lain akademisi. Satu sisi santri sisi lain pedagang. Dan itu bagian dari keniscayaan zaman saya kira. Tuntutannya disitu. Jadi, mau tidak mau harus ada yang berperan disitu. Karena kalau tidak nantinya akan dipegang non santri semua. Kalau dipegang non santri semua siapa yang akan rugi ? dengan demikian, harus ada keterwakilan santri dari peran-peran startegis seperti itu. Baik dari akademisi atau jabatan-jabatan strategis. Sehingga, santri bukan hanya konsumen yang pasif atau hanya menjadi lumbung suara pada waktu pemilu. Akan tetapi harus bisa menjadi dessesion maker, mereka yang bisa menjadi pembuat kebijakan. Yang mana, hal itu lebih bagus bagi dunia santri ketimbang yang pasif saja. Meskipun yang pasif, bukan berarti jelek ya. Ada tempatnya  sendiri-sendiri ada ranah perjuangannya sendiri-sendiri.

Apakah Santri Perlu Untuk Mengikuti Perkembangan Zaman ?

Tentu perlu, itu keniscayaan. Namun sebenarnya pertanyaan yang tepat adalah bukan apakah perlu, tapi apakah semuanya perlu? Jawabannya tidak semuanya perlu, karena peran dari santri itu luas. Di masyarakat itu , keperluannya bermacam-macam sehingga masing-masing berperan sesuai keahliannya. Sebenarnya tidak menjadi akademisi itu tidak masalah, yang terpenting menjalankan nilai-nilai agama yang baik di masyarakat. Menjadi apapun itu bagu, seperti pedagang yang paham fikih, atau bahkan jadi pejabat meski di kalangan bawah seperti perangkat desa, dll itu semuanya bagus. Intinya harus ada tapi tidak semua.karena itu tuntutan. Kebutuhan zaman jangan dikontraskan dengan tradisi. Masih banyak kalangan yang mengkontraskan Kebutuhan zaman dengan tradisi di masa lalu. Kebutuhan di zaman dulu itu menyesuaikan dengan tradisi di zaman dulu. Dulu, sekolah umum merupakan sekolah yang dibuat oleh belanda untuk menjadi saingan pesantren. Seperti kalau di sekolah umum tidak ada pelajaran agama sedangkan di pesantren ada pelajaran agama, perempuan yang sekolah umum dulu tidak boleh menutup aurot seperti memakai kerudung, sedangkan di pesantren harus menutup aurot. sehingga kalau zaman dulu ditanya, perlu atau tidak sekolah? Maka jawabannya tidak perlu, buat apa juga. Itu dulu, sedangkan sekarang sekolah-sekolah sudah berubah, sudah bagus, banyak pelajaran agama. Sehingga harus diikuti, namun lagi-lagi tidak harus semuanya. Santri yang ngaji salaf tetap perlu di zaman sekarang dan mereka memang tidak butuh ijazah, dll. Hal tersebut untuk mengajari generasi berikutnya tentang ilmu itu. Meskipun dengan segala min plusnya. Tetapi kalaupun tidak menjadi akademisi, biasanya mengajar pelajaran-pelajaran dasar, fikih-fikih dasar itu tidak perlu menjadi akademisi tingi-tinggi. Kecuali targetnya bukan hanya disitu, dia ingin mempelajari sampai ke tingkat selanjutnya. Cuma, sebenarnya kebutuhan akan pendidikan yang tinggi dengan yang rendah di masyarakat itu lebih banyak yang yang rendah. Sekarang saya menjadi Doktor, Dosen, di masyarakat yang dipakai bukan itu, tapi ilmu-ilmu yang saya pelajari di pondok. Di masyarakat mau ngomong ilmu-ilmu yang saya ajarkan di kampus, itu idak bisa. Kalaupun bisa maka sangat terbatas, yang banyak itu ngomong tentang akhlak, fikih-fikih dasar yang mana itu tidak membutuhkan posisi saya sebagai akademisi, meskipun itu sangat membantu. Karena dengan menjadi akademisi, kemampuan seseorang dalam berpikir itu lebih runtut dan lebih memudahkan dalam menyampaikan sesuatu sehingga mudah dipahami oleh masyarakat. Jika dilihat dari itu maka perlu, setidaknya santri itu punya dua kemampuan yakni kemampuan ilmu agama dan ilmu akademisi supaya mengerti metodenya, cara menulis yang bagus, cara menyampaikan yang bagus, bernalar yang bagus. Sehinga orang-orang itu mudah menyerap ilmunya. Itu barangkali yang tidak didapatkan oleh santri-santri murni salaf.

Bagaimana Saran Panjenengan Untuk Santri Saat Ini?

Saya kira, santri ini tetap harus menyesuaikan dengan kebutuhan zaman dan menyadari bahwa kebutuhan di zaman sekarang itu berbeda dengan kebutuhan di zaman dulu. Dalam sebuah maqolah yang sangat bagus yang dinisbatkan kepada Sayyidina Ali “addibu auladakum bigoiri adabikum fainnahu lam yaissu fi zamanikum”. Dalam penisbatan maqolah tersebut kepada Sayyidina Ali, tidak semua ulama sepakat. Karena sumber utama maqolah ini adalah filsuf yunani tapi Sayyidina Ali dulu konon pernah mengatkan itu juga, sehingg sering  dinukil dari Sayyidina Ali. Tapi, terlepas dari sanadnya, semangat dari maqolah tersebut bagus, “didiklah anak kalian tidak sama dengan didikan kalian karena mereka hidup di zaman mereka sendiri yang berbeda dengan zaman kalian” jadi santri juga sama, harus menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Santri di zaman dulu ya seperti itu, mengelola pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Dan sekarang sudah tidak lagi, tidak cukup hanya dengan itu. Santri di zaman dulu itu hanya berjuang di wilayah lokal, sekarang tidak bisa. Santri harus turun ke permukaan untuk mengisi slot-slot ksong yang diisi oleh kalangan non santri. Diluar sana banyak pelajar umum tidak pernah nyatri kemudian bikin You Tube dan berfatwa. Itu muncul banyak sekali di You Tube dsb. Mereka tidak pernah nyantri, hanya sekedar kuliah dimana gitu, jurusan agama di Saudi semisal, kemudian pulang ke Indonesia hanya membuat rusuh, tidak mengerti tentang mazhab kemudian membid’ahkan semua mazhab. Itu gara-gara banyak santri yang masih seperti hidup di masa lalu, tidak bisa beradaptasi dengan kebutuhan di masa sekarang. Sehingga peran santri tergeser oleh orang-orang yang bukan santri. Harusnya yang berada di depan itu santri, yang punya sanad keilmuan dari bawah, dan hasil belajarnya direkam, ditulis di berbagai media yang itu mempengaruhi pasar dan itu yang sekarang dibutuhkan. Tidak bisa lagi hanya sekedar seperti masa lalu yang penting ngaji, kalau sudah ya sudah, itu hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri. Kita perlu yang lebih dari itu, juga kalau dulu santri itu cukup dengan keilmuan dasar, kitab-kitab cukup pakai fathul qorib yang rata-rata sudah bisa menjawab persoalan, lebih tingi lagi kitab I’ana Al-Tholibin itu sudah hebat. Sekarang semua itu tidak cukup. Seorang santri harus bisa menjawab permasalahan yang lebih rumit, yang kadang itu tidak diajarkan di pesantren karena kitabnya terlalu besar seperti kitab-kitab syarah hadis. Semisal ada orang yang mengatakan “ini amaliah santri sekarang ini kok bid’ah”. Jawabnya dimana? Di I’ana Al-Tholibin tidak bisa karena tidak ada, maka nyarinya di kitab syarah hadis, betul tidak hadisnya itu dzoif? Betul tidak itu dalilnya tidak kuat? Kita harus jawab bagaimana muncul tarjih ini, tarjih itu, kan dari mujtahid-mujtahid zaman sekarang, yang bikin fatwa aneh-aneh. Itu bagaimana caranya menjawab dengan jawaban yang meyakinkan? Semisal menjawab bahwa tarjihnya Imam Syafi’i seperti ini, tarjihnya imam mazhab seperti ini sehingga muncul kesimpulan seperti ini. Itu semua ada di kitab-kitab yang besar, sehingga santri sekarang harus bisa menysuaikan diri, selain belajar yang dasar-dasar, jika memang memiliki kemampuan harus familier dengan kitab yang berjilid-jilid itu. Dan itu mudahb sekarang, dengan fasilitas teknologi informasi yang mudah diperoleh seperti dari internet, aplikasi-aplikasi semacam itu. Jadi untuk melakukan perbandingan itu mudah. Kalau dulu cukup menjawab dengan mazhab Syafi’i, sekarang itu tidak cukup, harus mengerti mazhab-mazhab lain dan bisa menjelaskan ke masyarakat. Kalau tidak, maka akan ketinggalan dan ketinggalan itu seolah-olah tidak mengerti ilmu agama sehingga kalah dengan kalangan yang bukan santri, yang Cuma tiga empat tahun di Saudi, Madinah misalkan. Meskipun aslinya, kemampuannya lebih dalam, tapi karena cara penyampaiannya kurang meyakinkan, analisisnya cuma mengajak taqlid, bukan analisis yang bagus, akhirnya kalah. Seolah-olah kurang alim, padahal jauh lebih bagus santri. Itulah tantangan masa kini, juga selain itu santri juga berperan di ranah yang lebih umum, bukan hanya di ranah keilmuan, tapi ranah-ranah pemegang kebijakan. Dari dulu santri seperti itu, adalah yang perlu menjadi Politikus, DPR, Dokter, Insinyur itu perlu, yang penting jiwa ksantriannya jangan sampai hillang.

Jurnalis : Muhammad Iqbal Ramadhan, M.Riki Nur Rivaldi dan Ahmad Fauzi

Posting Komentar untuk "Transformasi Santri | Wawancara bersama Gus Abdul Wahab Jember"