Bagaimana Pandangan
Panjenegan terkait santri yang sebenarnya ?
Santri
itu punya makna umum dan khusus ya. Secara umum santri itu adalah tholabul
ilmi, semua thalabul ilmi yang muslim yang belajar agama. Terlepas
dia belajarnya secara resmi di pesantren atau dia yang tidak di pesantren juga
bisa disebut dengan santri juga. Secara khusus, biasanya istilah santri itu untuk
orang yang mondok sedangkan bagi orang yang tidak mondok secara otomatis tidak
masuk dalam istilah ini. Meskipun secara umum masuk sama-sama santrinya. Jadi,
misalkan mahasiswa yang belajar di UIN itu santri ngk? Dan yang dipelajari juga
termasuk ilmu-ilmu agama juga. Sehingga, tergantung kita mau memakai devinisi
yang umum atau yang khusus. Jadi, semuanya saya kira memakai devinisi yang umum
untuk menyebutkan santri sebagai seorang thalabul ilmi, dalam hal ini
ilmu agama dalam berbagai macam bentuknya. Jadi, itu saya kira. Umum sekali
mencakup semua pelajar ilmu agama dan itu juga secara umum juga santri ini bisa
mencakup waktu si santri aktif mondok atau sudah alumni. Ketika sudah alumni
disebut santri atau ngk. Ketika sudah berbaur dengan masyarakat sudah disebut
santri atau ngk. Masih punya guru dan sayapun masih santri dari guru saya.
Jadi, devinisi umum ini lebih fleksibel dari pada devinisi khusus yang hanya menyebut
santri yang masih mondok, sangat sempit sekali. Akan tetapi, kalau kita memakai
devinsi umum kita tidak bisa mengenelarisir satu jenis santri saja, satu jenis
kepribadian saja tapi itu luas nantinya.sehingga, banyak yang masuk dengan
devinisi santri itu.
Apakah
santri dulu dengan sekarang berbeda ?
Lagi-lagi,
tergantung bagaimana kita mendevinisikan santri itu. Kalau dibilang dulu santri
hanya belajar agama satu model salaf saja, saya kira ngk tepat. Dari dulu
santri itu belajar macam-macam, pertama, yang jelas belajar ngaji kepada
kiainya. Kedua, santri dulu itu bekerja. Ada yang jadi petani, berdagang
dan macam-macam. Bahkan, santri dulu itu malah tidak dikirim betul-betul
independent. Ketika nyantri keluar mencari guru yang jauh daerah mana itu lepas
dari orang tuanya, ngk ada yang dikirim oleh orang tuanya bukan semacam
sekarang. Betul-betul pergi rihlah dan mereka mencari makan sendiri. Ada yang
bertani, berdagang dan lain sebagainya. Kemudian membaur dengan masyarakat dan akhirnya
menikah disitu di daerah baru. Mereka menjadi macam-macam dan dalam sejarah
kita kalau di indonesia, istilah santri itu bukan hanya murni belajar. Akan
tetapi banyak dari mereka menjadi pejuang (cikal bakal tentara kan santri semua
awalnya) menjadi pendekar di masa lalu. Ya mereka ikut perjuangan kegiatan
politik seperti kiai hasyim yang kiprah politiknya jelas besar sekali. Jadi,
santri itu tidak hanya satu model saja. Setiap zaman itu, santri itu selain belajar
agama juga menjadi peran lainnya. Mereka menjadi peran lain yang dibutuhkan di
zaman itu, kalau di zaman itu penjajahan mereka ikut membuat anti penjajahan.
Kalau sekarang sudah merdeka, bagaimana santri itu mengisi kemerdekaan. Ya,
menjadi macam-macam lahh. Saya kira itu tuntutan zaman. Selain belajar mereka
juga bisa menjadi sesuatu atau peran-peran khusus yang bisa dicapai. Kalau
sekarang harus sekolah bagaimana? Ya, sekolah menjadi keniscayaan akhirnya.
Meskipun tidak semua harus sekolahya.
Kalau
dulu beda ngk dengan sekarang ? mungkin yang beda adalah jenis perannya. Selain
belajar ngapain. Kalau sekarang selain belajar agama ya sekolah. Ya mungkin
juga ada yang belajar usaha dan bermacam-macam. Itu tuntutan zaman. Zaman saja
yang berubah sedangkan santrinya ya tetap seperti itu.
Bagaimana
Menurut Panjenegan Terkait Fenomena Santri Yang Menjadi Akademisi atau pejabat
?
Yaitu,
bagian dari keniscayaan. Tidak semua santri itu harus jadi akademisi.
tetapi bukan berarti santri bukan
akademisi. Bisa jadi satu sisi santri sisi lain akademisi. Satu sisi santri
sisi lain pedagang. Dan itu bagian dari keniscayaan zaman saya kira.
Tuntutannya disitu. Jadi, mau tidak mau harus ada yang berperan disitu. Karena
kalau tidak nantinya akan dipegang non santri semua. Kalau dipegang non santri
semua siapa yang akan rugi ? dengan demikian, harus ada keterwakilan santri
dari peran-peran startegis seperti itu. Baik dari akademisi atau
jabatan-jabatan strategis. Sehingga, santri bukan hanya konsumen yang pasif
atau hanya menjadi lumbung suara pada waktu pemilu. Akan tetapi harus bisa
menjadi dessesion maker, mereka yang bisa menjadi pembuat kebijakan.
Yang mana, hal itu lebih bagus bagi dunia santri ketimbang yang pasif saja.
Meskipun yang pasif, bukan berarti jelek ya. Ada tempatnya sendiri-sendiri ada ranah perjuangannya
sendiri-sendiri.
Apakah
Santri Perlu Untuk Mengikuti Perkembangan Zaman ?
Tentu perlu, itu keniscayaan. Namun sebenarnya pertanyaan
yang tepat adalah bukan apakah perlu, tapi apakah semuanya perlu? Jawabannya
tidak semuanya perlu, karena peran dari santri itu luas. Di masyarakat itu ,
keperluannya bermacam-macam sehingga masing-masing berperan sesuai keahliannya.
Sebenarnya tidak menjadi akademisi itu tidak masalah, yang terpenting
menjalankan nilai-nilai agama yang baik di masyarakat. Menjadi apapun itu bagu,
seperti pedagang yang paham fikih, atau bahkan jadi pejabat meski di kalangan
bawah seperti perangkat desa, dll itu semuanya bagus. Intinya harus ada tapi
tidak semua.karena itu tuntutan. Kebutuhan zaman jangan dikontraskan dengan
tradisi. Masih banyak kalangan yang mengkontraskan Kebutuhan zaman dengan
tradisi di masa lalu. Kebutuhan di zaman dulu itu menyesuaikan dengan tradisi
di zaman dulu. Dulu, sekolah umum merupakan sekolah yang dibuat oleh belanda
untuk menjadi saingan pesantren. Seperti kalau di sekolah umum tidak ada
pelajaran agama sedangkan di pesantren ada pelajaran agama, perempuan yang
sekolah umum dulu tidak boleh menutup aurot seperti memakai kerudung, sedangkan
di pesantren harus menutup aurot. sehingga kalau zaman dulu ditanya, perlu atau
tidak sekolah? Maka jawabannya tidak perlu, buat apa juga. Itu dulu, sedangkan
sekarang sekolah-sekolah sudah berubah, sudah bagus, banyak pelajaran agama.
Sehingga harus diikuti, namun lagi-lagi tidak harus semuanya. Santri yang ngaji
salaf tetap perlu di zaman sekarang dan mereka memang tidak butuh ijazah, dll.
Hal tersebut untuk mengajari generasi berikutnya tentang ilmu itu. Meskipun
dengan segala min plusnya. Tetapi kalaupun tidak menjadi akademisi, biasanya
mengajar pelajaran-pelajaran dasar, fikih-fikih dasar itu tidak perlu menjadi
akademisi tingi-tinggi. Kecuali targetnya bukan hanya disitu, dia ingin
mempelajari sampai ke tingkat selanjutnya. Cuma, sebenarnya kebutuhan akan
pendidikan yang tinggi dengan yang rendah di masyarakat itu lebih banyak yang
yang rendah. Sekarang saya menjadi Doktor, Dosen, di masyarakat yang dipakai
bukan itu, tapi ilmu-ilmu yang saya pelajari di pondok. Di masyarakat mau
ngomong ilmu-ilmu yang saya ajarkan di kampus, itu idak bisa. Kalaupun bisa
maka sangat terbatas, yang banyak itu ngomong tentang akhlak, fikih-fikih dasar
yang mana itu tidak membutuhkan posisi saya sebagai akademisi, meskipun itu
sangat membantu. Karena dengan menjadi akademisi, kemampuan seseorang dalam
berpikir itu lebih runtut dan lebih memudahkan dalam menyampaikan sesuatu
sehingga mudah dipahami oleh masyarakat. Jika dilihat dari itu maka perlu,
setidaknya santri itu punya dua kemampuan yakni kemampuan ilmu agama dan ilmu
akademisi supaya mengerti metodenya, cara menulis yang bagus, cara menyampaikan
yang bagus, bernalar yang bagus. Sehinga orang-orang itu mudah menyerap
ilmunya. Itu barangkali yang tidak didapatkan oleh santri-santri murni salaf.
Bagaimana
Saran Panjenengan Untuk Santri Saat Ini?
Saya kira, santri ini tetap harus menyesuaikan dengan
kebutuhan zaman dan menyadari bahwa kebutuhan di zaman sekarang itu berbeda
dengan kebutuhan di zaman dulu. Dalam sebuah maqolah yang sangat bagus yang
dinisbatkan kepada Sayyidina Ali “addibu auladakum bigoiri adabikum fainnahu
lam yaissu fi zamanikum”. Dalam penisbatan maqolah tersebut kepada Sayyidina
Ali, tidak semua ulama sepakat. Karena sumber utama maqolah ini adalah filsuf
yunani tapi Sayyidina Ali dulu konon pernah mengatkan itu juga, sehingg
sering dinukil dari Sayyidina Ali. Tapi,
terlepas dari sanadnya, semangat dari maqolah tersebut bagus, “didiklah anak
kalian tidak sama dengan didikan kalian karena mereka hidup di zaman mereka
sendiri yang berbeda dengan zaman kalian” jadi santri juga sama, harus
menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Santri di zaman dulu ya seperti itu,
mengelola pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Dan sekarang sudah tidak lagi,
tidak cukup hanya dengan itu. Santri di zaman dulu itu hanya berjuang di
wilayah lokal, sekarang tidak bisa. Santri harus turun ke permukaan untuk
mengisi slot-slot ksong yang diisi oleh kalangan non santri. Diluar sana banyak
pelajar umum tidak pernah nyatri kemudian bikin You Tube dan berfatwa. Itu
muncul banyak sekali di You Tube dsb. Mereka tidak pernah nyantri, hanya
sekedar kuliah dimana gitu, jurusan agama di Saudi semisal, kemudian pulang ke
Indonesia hanya membuat rusuh, tidak mengerti tentang mazhab kemudian
membid’ahkan semua mazhab. Itu gara-gara banyak santri yang masih seperti hidup
di masa lalu, tidak bisa beradaptasi dengan kebutuhan di masa sekarang.
Sehingga peran santri tergeser oleh orang-orang yang bukan santri. Harusnya
yang berada di depan itu santri, yang punya sanad keilmuan dari bawah, dan
hasil belajarnya direkam, ditulis di berbagai media yang itu mempengaruhi pasar
dan itu yang sekarang dibutuhkan. Tidak bisa lagi hanya sekedar seperti masa lalu
yang penting ngaji, kalau sudah ya sudah, itu hanya bermanfaat untuk dirinya
sendiri. Kita perlu yang lebih dari itu, juga kalau dulu santri itu cukup
dengan keilmuan dasar, kitab-kitab cukup pakai fathul qorib yang rata-rata
sudah bisa menjawab persoalan, lebih tingi lagi kitab I’ana Al-Tholibin itu
sudah hebat. Sekarang semua itu tidak cukup. Seorang santri harus bisa menjawab
permasalahan yang lebih rumit, yang kadang itu tidak diajarkan di pesantren
karena kitabnya terlalu besar seperti kitab-kitab syarah hadis. Semisal ada
orang yang mengatakan “ini amaliah santri sekarang ini kok bid’ah”. Jawabnya
dimana? Di I’ana Al-Tholibin tidak bisa karena tidak ada, maka nyarinya di
kitab syarah hadis, betul tidak hadisnya itu dzoif? Betul tidak itu dalilnya tidak
kuat? Kita harus jawab bagaimana muncul tarjih ini, tarjih itu, kan dari
mujtahid-mujtahid zaman sekarang, yang bikin fatwa aneh-aneh. Itu bagaimana
caranya menjawab dengan jawaban yang meyakinkan? Semisal menjawab bahwa
tarjihnya Imam Syafi’i seperti ini, tarjihnya imam mazhab seperti ini sehingga
muncul kesimpulan seperti ini. Itu semua ada di kitab-kitab yang besar,
sehingga santri sekarang harus bisa menysuaikan diri, selain belajar yang
dasar-dasar, jika memang memiliki kemampuan harus familier dengan kitab yang
berjilid-jilid itu. Dan itu mudahb sekarang, dengan fasilitas teknologi
informasi yang mudah diperoleh seperti dari internet, aplikasi-aplikasi semacam
itu. Jadi untuk melakukan perbandingan itu mudah. Kalau dulu cukup menjawab
dengan mazhab Syafi’i, sekarang itu tidak cukup, harus mengerti mazhab-mazhab
lain dan bisa menjelaskan ke masyarakat. Kalau tidak, maka akan ketinggalan dan
ketinggalan itu seolah-olah tidak mengerti ilmu agama sehingga kalah dengan
kalangan yang bukan santri, yang Cuma tiga empat tahun di Saudi, Madinah
misalkan. Meskipun aslinya, kemampuannya lebih dalam, tapi karena cara
penyampaiannya kurang meyakinkan, analisisnya cuma mengajak taqlid,
bukan analisis yang bagus, akhirnya kalah. Seolah-olah kurang alim, padahal jauh
lebih bagus santri. Itulah tantangan masa kini, juga selain itu santri juga
berperan di ranah yang lebih umum, bukan hanya di ranah keilmuan, tapi
ranah-ranah pemegang kebijakan. Dari dulu santri seperti itu, adalah yang perlu
menjadi Politikus, DPR, Dokter, Insinyur itu perlu, yang penting jiwa
ksantriannya jangan sampai hillang.
Jurnalis : Muhammad Iqbal Ramadhan, M.Riki Nur Rivaldi dan Ahmad Fauzi
Posting Komentar untuk "Transformasi Santri | Wawancara bersama Gus Abdul Wahab Jember"