Gambar oleh Couleur dari Pixabay |
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali di tempat umum, seperti sekolah, lingkungan kantor, gedung-gedung, taman, dll. kita menemukan sebuah spanduk, brosur, atau hanya secarik kertas yang bertuliskan aforisme yang bijak nan indah yang mengajak dan memotivasi kita untuk selalu menjaga kebersihan. Pernyataan yang kandungannya terinspirasi dari ucapan Baginda Nabi Muhammad ﷺ yang akhlaknya disifati oleh al-Quran dengan akhlak yang agung (Q.S. Al-Qalam/68: 4). Ungkapan yang sederhana, namun memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap jiwa seorang muslim. Ungkapan tersebut adalah:
النَّظَافَةُ مِنَ الْإِيْمِانِ
Artinya: Kebersihan
sebagian dari iman
Adagium
tersebut bukanlah hadis yang berasal dari Rasulullah ﷺ. Karena ulama muhadditsin belum
pernah menemukan redaksi hadis seperti di atas. Namun, kalimat mutiara tersebut
sejalan maknanya dengan hadis Rasulullah ﷺ dalam Shahih Muslim yang berbunyi:
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
Artinya: Kesucian
adalah sebagian dari iman
Ungkapan
tersebut juga senada dengan al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 222 dan At-Taubah
ayat 108 yang menyatakan bahwa Allah Swt. mencintai orang yang
bersungguh-sungguh menyucikan diri. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢
Artinya: Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.
فِيْهِ رِجَالٌ يُّحِبُّوْنَ اَنْ يَّتَطَهَّرُوْاۗ
وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ ١٠٨
Artinya: Di dalamnya ada
orang-orang yang gemar membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang
membersihkan diri.
Dalam
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, adagium ini lebih sering ditujukan
untuk memotivasi dan menyadarkan manusia agar selalu menerapkan pola hidup
bersih, seperti membuang sampah pada tempatnya, memerhatikan penampilan diri,
membersihkan lingkungan sekitar, dll. Sehingga, banyak masyarakat beranggapan
bahwa kebersihan yang paling utama yang merupakan sebagian dari iman adalah
kebersihan fisik dan lahiriah saja.
Kesimpulan
tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, ada bentuk kebersihan dan kesucian lain
yang lebih utama daripada kesucian lahir dan fisik saja, yakni kesucian dan
kebersihan batin. Kesucian dan kebersihan batin ini meliputi bersihnya jiwa dan
hati dari segala bentuk penyakit hati dan sifat tercela serta bentuk
kemaksiatan lainnya. Membersihkan hati dengan menghindari perilaku sombong, ujub,
riya’, jahil, nifaq, dan sifat tercela yang lain merupakan
hal yang lebih penting daripada hanya menghabiskan air untuk membersihkan
bagian luar tubuh saja.
Bagi
orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang dalam tentang ayat-ayat
al-Quran dan redaksi hadis serta punya sifat kritis dalam menanggapinya pasti
mereka sadar bahwa yang dimaksud kebersihan sebagian dari iman dari hadis
tersebut bukanlah kebersihan secara dzahir, tapi lebih menekankan kepada
kebersihan batin. Karena tidak mungkin orang kafir atau non-muslim yang pola
hidup kesehariannya selalu bersih, tidak mentolerir adanya kotoran sedikit pun
di rumah atau lingkungannya, dan selalu terlihat indah penampilannya kemudian
dikatakan telah melaksanakan perilaku yang merupakan bagian dari iman. Padahal,
dari segi akidah saja mereka tidak mengakui eksistensi Allah dan Keesaan-Nya
dan tidak mengakui Muhammad ﷺ sebagai utusan-Nya. Sehingga, akan sangat
salah dan rusak makna iman yang sesungguhnya jika kemudian disimpulkan bahwa
kebersihan dzahir atau lahiriah merupakan bagian dari keimanan seseorang
dengan mempertimbangkan gambaran di atas.
Islam sendiri tidak mengesampingkan dan meremehkan kebersihan lahiriah. Kewajiban wudu, mandi, bersuci dari najis, dan membersihkan diri dari kotoran yang menempel pada tubuh merupakan ajaran Islam untuk selalu menjaga kebersihan. Bahkan, dapat dikatakan tidak ada syariat dari agama dan kepercayaan apa pun di muka bumi ini yang mengatur kehidupan umatnya hingga pada hal paling remeh sekalipun, termasuk dalam hal kebersihan. Islam mengajarkan pengikutnya untuk mendahulukan kaki kiri ketika masuk kamar mandi dan keluar dengan mendahulukan kaki kanan. Islam, melalui perantara Nabinya, mengajarkan adab dan teladan baik yang sangat rinci dalam setiap kegiatan kesehariannya. Mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga akan tidur di malam hari.
Yang dicela dalam Islam adalah orang yang lebih memerhatikan dan mementingkan kebersihan lahir daripada kebersihan batinnya. Mereka rela mengeluarkan harta dan uang yang sangat banyak hanya demi keindahan dan kemolekan tubuh. Mereka rela menghabiskan sebagian besar waktu yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadanya hanya untuk berdandan dan berhias diri agar terlihat cantik nan indah di mata manusia. Tak hanya keindahan tubuh saja yang mereka perhatikan dan khawatirkan, bahkan dalam hal yang berhubungan dengan syariat, seperti wudu misalnya, mereka sering waswas dan banyak melakukan pemborosan dalam penggunaan air. Mereka berdalih bahwa hal tersebut merupakan bentuk kehati-hatian untuk menggapai kesempurnaan bersuci. Padahal, sejatinya berbeda antara hati-hati dan waswas, meskipun perbedaannya sangat kecil. Hati-hati adalah perilaku waspada yang disebabkan adanya qarinah (alasan yang dapat dibenarkan syariat) yang menyertainya. Sedangkan waswas tak ada qarinah yang menyertainya. Bisikan setan la’natullahi alaihi kepada mereka yang membuat mereka terjerumus ke dalam perilaku waswas.
Perilaku
seperti ini, yakni mengutamakan urusan batiniah daripada lahiriah, telah
dicontohkan oleh para sahabat Nabi Muhammad ﷺ. Mereka banyak menghabiskan waktu, tenaga,
dan pikirannya hanya untuk fokus menyucikan hati dan tidak terlalu mementingkan
urusan dzahir. Sayyidina Umar bin Khaththab r.a. berwudu hanya dengan
menggunakan air dari kendi yang relatif kecil, tidak sampai boros dalam
menggunakan air apalagi waswas. Para sahabat Nabi tidak menyiram dan membasuh
tangan mereka dengan air hanya dengan tujuan untuk menghilangkan debu dan bekas
makanan yang menempel di tangannya. Mereka tidak menggunakan alat pembersih
semacam kain lap. Mereka salat di atas lantai tanah di masjid. Mereka berjalan
dengan menggunakan alas kaki yang sederhana dan tidak tidur di tempat yang
empuk karena merasa hal tersebut merupakan adat dan kebiasaan orang kaya.
Abu
Hurairah r.a., salah satu sahabat yang termasuk sufi, pernah bercerita
bahwasannya pada suatu hari beliau bersama dengan para sahabat yang lain sedang
makan daging bakar ketika panggilan iqamah datang untuk mendirikan salat.
Maka beliau dan para sahabat masukkan jari-jari mereka ke dalam batu-batu kecil
(kerikil), kemudian menggosokkannya dengan pasir, lalu mereka bertakbir untuk
mendirikan sholat.
Sedangkan Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin Khaththab r.a. juga pernah berkata, ‘Kami tidak mengenal kain lap pada masa Rasulullah ﷺ. Sapu tangan kami adalah pergelangan kaki kami. Apabila kami makan makanan yang berminyak, maka kami usapkan tangan kami pada pergelangan kaki kami.’
Posting Komentar untuk "Benarkah Kebersihan Adalah Sebagian Daripada Iman? (1)"