WALI BERANDAL TANAH JAWA : BAGAIMANA PARA SUCI EKSENTRIK DI JAWA MENANTANG ISLAM FUNDAMENTALIS DI INDONESIA MODERN


Budaya ziarah, dengan keragamaan dan kontradiksinya merupakan suatu gugatan terhadap ragam baku agama islam yang semakin menguat di perjalanan keagamaan di Indonesia. Ada yang yang fanatic dengan membawa sesajen dan seserahan setelah melakukan ziarah dan ada juga yang kosongan yang memahami makna ziarah sebagai pengingat kematian.  Dari Makam Wali yang di akui secara umum sampai makam-makam Aulia yang di perdebatkan, masyarakat kita tetap dengan keyakinannya masing-masing dengan menerjemahkan proses ritual tersebut dengan sangat ciamik dan beragam. Ada yang bertujuan mencari “pesugihan”, dan ada juga yang memang benar-benar bertujuan untuk berziarah sebagai bentuk penghormatan.

Salah satu penelitin dari Australia yang dilakukan oleh Goerge Quinn, dengan melakukan strategi penelitian etnografi dan sosiologis terhadap beberapa makam - dalam konteks jaringan ziarah nusantara sebagai Wali dalam posisi legal dan ilegal, hasil riset yang berjudul How Java’s Eccentric Saints are Challengging fundamentalist Islam in Modern Indonesia,  dalam edisi Bahasa indonesia di beri judul “ Wali Berandal Tanah Jawa” buku dengan tebal 549 halaman ini memberikan cerita tentang beberapa makam yang selama ini, si empunya di anggap “wali” dan juga “berandal” dalam artian yang lain.[1]

Misalnya adalah cerita soal “anjing Masuk masjid” yang merujuk pada sosok Pangeran Panggung kakak kandung dari Sultan Trenggono yang menyebarkan paham Ateisme di Jawa. Dalam kisah-kisah sufi Islam kita masih mengenal al-Hallaj maka pangeran panggung ini bisa dikatakan sebagai al-Hallaj jawa. Maka hukumanpun persis dilakukan sebagaimana hukuman al hallaj yakni dengan cara dibakar ataupun di penggal, yang menarik adalah makan pangeran Panggung masih ramai di kunjungi oleh para peziarah sampai saat ini. Ini yang saya maksud sebagai budaya ziarah yang beragam expresi, mau tokoh itu seorang wali maupun “berandal” pada zamannya.[2]

Di wilayah kediri misalnya terdapat makam Raja Jayabaya masih sering petilasannya dikunjungi oleh muslim-muslim jawa, mereka mempunyai banyak tujuan yang pastinya berkaitan dengan dunia dan akhirat, biasanya satu paket dengan ziarah makam di komplek Setono Gedong ataupun komplek makam-makam yang lain yang tersebar di seluruh pelosok tanah Jawa. Sampai puncak gunung Lawu pun tidak luput dari para peziarah karena di sana ada makam Raja terakhir Majapahit, yaitu Raden Brawijaya V. Dengan demikian, kegiatan ziarah sudah sangat di gemari oleh masyarakat kita walupun di masa Pra-Islam, ini di tunjukkan dengan banyaknya candi dan stupa yang di bangun oleh raja sesudahnya sebagai bentuk penghormatan kepada raja sebelumnya.

Beberapa sarana dalam mereview buku ini, seperti yang dilakukan oleh Edwin Setiadi.[3] Mungkin fitur terbaik dari buku ini adalah kejelasan antara fakta dan fiksi, karena biasanya ada begitu banyak versi cerita rakyat berbeda yang berkembang mengenai subjek atau orang yang sama, terkadang dengan kota berbeda yang mengklaim kepemilikan atas cerita asal usulnya. Dan di sini Quinn menceritakan banyak versi berbeda dan membahas semuanya, termasuk memprediksi apa yang sebenarnya terjadi dan membedakan dengan jelas apakah itu mitos atau peristiwa sejarah nyata. Buku ini, terutama berkisar pada budaya ziarah ke makam Sembilan Orang Suci (Wali Songo) yang tersebar di seluruh pulau. Seperti yang dikatakan Quinn, “Para peziarah secara teratur memohon bantuan pribadi (dalam bahasa Jawa: ngalap berkah, untuk mendapatkan berkah) atau membuat janji nadhar, juga bersumpah sebagai bentuk berterima kasih kepada Allah atau orang suci dengan cara tertentu jika permohonan mereka dikabulkan. Di luar ruang makam, mereka mungkin ikut serta dalam ritual makan (slametan) atau membongkar segunung makanan dalam ritual rebutan, atau membantu mengganti kanopi kain yang menggantung di atas makam.” [4]

Praktik ini merupakan sisa dari budaya “abangan” Islam yang kini telah hilang dan mencakup beberapa adat istiadat setempat yang masih ada dan tidak lazim jika dikaitkan dengan Islam di luar Indonesia, seperti menaburkan kelopak bunga dan mengisi botol air di makam, membakar dupa dan ritual slametan. Tentunya hal ini, berbeda dengan budaya “santri” Islam yang sebagian besar diasosiasikan kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah (dua organisasi Islam terbesar di Indonesia) yang saat ini, mengajarkan Islam yang lebih tradisional dari Timur Tengah. Selain itu, meskipun buku ini terutama menyajikan biografi beberapa orang suci (dengan kisah-kisah yang berhubungan langsung dengan Sunan Kalijaga), buku ini juga mencakup segala hal lain yang berhubungan dengan ilmu kebatinan di Jawa. Seperti kisah dewi uang, tentara tuyul, dan tempat-tempat mistis seperti gunung Kawi dan hutan Ketonggo. Dan ada juga kisah menarik tentang penjaga Merapi yang melibatkan Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul, hingga berakhir dengan mbah Maridjan. Dan tentang kepercayaan akan kemunculan Ratu Adil di hari kiamat, ramalan Jayabaya, dan masih banyak lagi kisah-kisah gaib lainnya yang pernah melibatkan penis yang bisa berbicara.[5] Dengan pengetahuan ini, maka dapat kita simpulkan sebagaimana ungkapan di atas, bahwa ulama yang legal dan ilegal dalam mistik jawa sangat beragam dan mempunyai ciri khas masing-masing.

Sedangkan menurut Tim Hanninggan yang juga mereview buku ini, menyatakan bahwa Quinn mempunyai bakat luar biasa dalam menceritakan kembali legenda-legenda tertentu dengan cepat, dan kemampuan yang bagus untuk menggambarkan humor tegang yang terlibat dalam perselisihan teologis yang tertanam dalam legenda lisan dan teks-teks Jawa kuno. Teks-teks abad ke-19 yang penuh skandal dan ditulis secara anonim, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul, misalnya, menampilkan tokoh-tokoh utama berupa penis yang berjalan dan skrotum yang dapat berbicara, yang terlibat dalam misi yang benar, meskipun sering kali bermulut kotor, melawan kekuatan ortodoksi Islam di Jawa.[6]

Salah satu gagasan yang muncul dengan jelas dari Bandit Saints of Java adalah betapa cair dan dinamisnya “tradisi” di Jawa. Quinn mengungkapkan bahwa kisah-kisah awet muda yang melekat pada makam Mbah Priok—sebuah situs ziarah yang banyak diperebutkan di Jakarta Utara—baru muncul menjadi wacana populer pada tahun 1990-an. Dan itu menunjukkan betapa cepatnya makam tokoh-tokoh kontemporer seperti mantan presiden Indonesia Abdurrahman Wahid dan mantan penjaga Gunung Merapi (Mbah Maridjan), bisa mendapatkan ornamen sebuah situs ziarah suci. Dan pergeseran kutub ortodoksi dan heterodoksi dapat menyebabkan sosok-sosok yang tadinya bertentangan tiba-tiba bersatu—“bukan sekutu, tapi sesama penghuni ‘tradisi’”.[7]

Dalam upaya menjelaskan fenomena luar biasa ini, Quinn beralih ke kategorisasi yang diambil dari teks pendahuluan untuk semua catatan jurnalistik Islam Indonesia yang biner: risalah antropologis penting Clifford Geertz tahun 1960, The Religion of Java. Geertz melihat masyarakat Jawa terbagi menjadi beberapa tipe, dan ia mempopulerkan istilah santri untuk kaum Muslim ortodoks, dan abangan untuk kaum tradisionalis pedesaan yang sinkretis dan tampaknya lebih bergantung pada kepercayaan rakyat dan Hindu-Buddha daripada Islam yang mereka anut (Geertz juga mengidentifikasi tipe orang Jawa yang ketiga, namun tidak seperti santri dan abangan, “varian priyayi” miliknya gagal masuk ke dalam wacana populer). Pada masa Geertz, kaum abangan tampaknya merupakan mayoritas penduduk Jawa, namun pada abad ke-21 mereka tampaknya sudah hampir punah. Namun Quinn menawarkan hipotesis yang menarik:

I think it is plausible that, for ex-abangan Javanese, holy tombs have become safe havens – institutions that fill a vacuum and offer protection to those whose devotional styles don’t square with the rigid demands of orthodoxy.

Saya pikir masuk akal bahwa, bagi orang Jawa eks-abangan, makam suci telah menjadi tempat berlindung yang aman – lembaga yang mengisi kekosongan dan memberikan perlindungan kepada mereka yang gaya kebaktiannya tidak sesuai dengan tuntutan ortodoksi yang kaku.[8]

           Maka dari itu, pembacaan yang di lakukan oleh Quin memiliki pembacaan lebih mendalam yang terjadi dalam konteks kultural, terlepas para ulama NU dan Muhammadiyah sudah “Menentukan” dengan menggunakan dalil dan memberikan pemahaman terkait dengan etika berziarah di Makam Ulama dan Wali-wali yang ada, tetapi tidak memungkiri bahwa secara realitas masyarakat kita masih banyak yang menjalani konteks “abangan” nenek leluhur yang berjalan secara natural dan simbolis di tengah-tengah masyarakat Tradisi islam nusantara di Indonesia.

Jelasnya, banyak dari pengunjung makam modern ini, sekilas terlihat tidak dapat dibedakan dari “santri” masa kini—yang mengenakan jilbab dan kopiah serta sering mengunjungi masjid untuk melengkapi ziarah mereka. Memang benar, Quinn berpendapat bahwa beberapa makam orang suci mengkooptasi umat Islam ortodoks ke dalam tradisi mereka dan pada gilirannya dikooptasi oleh ortodoksi, yang kemudian menimbulkan perselisihan mengenai praktik ziarah yang “pantas”. Namun pada akhirnya, pesan abadi dari buku ini adalah bahwa ada lebih dari satu cara untuk menjadi seorang Muslim yang taat di Jawa, dan bahwa jutaan orang bergerak bolak-balik dengan mudah melintasi kesenjangan “antara masjid dan makam suci”. Ia berargumentasi bahwa tokoh-tokoh penting dari para orang suci itu sendirilah yang memberikan jaminan keberagaman yang langgeng.[9]

.

.

Selamat membaca……

Oleh : Penikmat ziarah Sarkubiyah, salah satu mahasiwa pasca di UIN sunan Kalijaga Yogyakarta

Refrensi

 

“Bandit Saints of Java: How Java’s eccentric saints are challenging fundamentalist Islam in modern Indonesia: Quinn, George: 9781912049448: Amazon.com: Books.” Diakses 15 Februari 2024. https://www.amazon.com/Bandit-Saints-Java-challenging-fundamentalist/dp/1912049449.

Hannigan, Tim. “‘Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints Are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia’ by George Quinn,” 4 Mei 2019. https://asianreviewofbooks.com/content/bandit-saints-of-java-how-javas-eccentric-saints-are-challenging-fundamentalist-islam-in-modern-indonesia-by-george-quinn/.

KutuKata. “Bandit Saints of Java: Perlawanan dari Petilasan,” 30 Oktober 2019. https://kutukata.id/2019/10/31/wacana/bandit-saints-of-java-perlawanan-dari-petilasan/.

Setiadi, Edwin. “Book Review: Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints Are Challenging Fundamentalist….” Medium (blog), 23 April 2023. https://medium.com/@edsetiadi/book-review-bandit-saints-of-java-how-javas-eccentric-saints-are-challenging-fundamentalist-2450b49f93b4.

 



[1] “Bandit Saints of Java: How Java’s eccentric saints are challenging fundamentalist Islam in modern Indonesia: Quinn, George: 9781912049448: Amazon.com: Books,” diakses 15 Februari 2024, https://www.amazon.com/Bandit-Saints-Java-challenging-fundamentalist/dp/1912049449.

[2] “Bandit Saints of Java: Perlawanan dari Petilasan,” KutuKata (blog), 30 Oktober 2019, https://kutukata.id/2019/10/31/wacana/bandit-saints-of-java-perlawanan-dari-petilasan/.

[3] Edwin Setiadi, “Book Review: Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints Are Challenging Fundamentalist…,” Medium (blog), 23 April 2023, https://medium.com/@edsetiadi/book-review-bandit-saints-of-java-how-javas-eccentric-saints-are-challenging-fundamentalist-2450b49f93b4.

[4] Setiadi.

[5] Setiadi.

[6] Tim Hannigan, “‘Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints Are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia’ by George Quinn,” 4 Mei 2019, https://asianreviewofbooks.com/content/bandit-saints-of-java-how-javas-eccentric-saints-are-challenging-fundamentalist-islam-in-modern-indonesia-by-george-quinn/.

[7] Hannigan.

[8] Hannigan.

[9] Hannigan.

Posting Komentar untuk "WALI BERANDAL TANAH JAWA : BAGAIMANA PARA SUCI EKSENTRIK DI JAWA MENANTANG ISLAM FUNDAMENTALIS DI INDONESIA MODERN"