Politik Makam dan Makam Politik : What Is Religius Authority ? Menyemai Sunnah dan Merangkai Jamaah

 


        Berdasarkan kajian Fenomena yang terjadi di masyarakat. Seringkali kuburan di Indonesia diperuntukkan bagi seorang tokoh. Baik yang berasal dari kalangan tokoh politik ataupun tokoh ulama muslim yang diklaim sebagai penjaga makam oleh tokoh ulama masyarakat muslim karena adanya catatan jejak sejarah di masyarakat. Tidak sendiri dan juga tidak ada alasan akan tetapi jelas untuk menentukan apakah itu penjaga kubur atau hanya sebagai hak klaim untuk tujuan politik kubur semata atau kuburan sebagai alat Politik, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh M Khoirul  hadi al asy’ari dkk dengan judul Makam Politik dan Makam Politik : Kajian Perlawanan Masyarakat Madura Berdasarkan Lokasi Makam Di Desa Suco Kecamatan Mumbusari Kabupaten Jember - yang menyatakan bahwa Makam atau Kuburan merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi manusia yang telah meninggal dan tempat kembali kepada Tuhannya. Keberadaan kubur kini beralih ke awal hubungan menuai dalam kasus politik. Dengan demikian, peletakkan kubur menjadi tradisi unik di Indonesia, khususnya di Desa Suco Kecamatan Mumbulsari. Hal ini terlihat dari sejumlah bukti pemakaman melalui pemilik rumah dan kerabatnya. Umumnya makam kematian ditempatkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum), namun ada sejumlah masyarakat yang menaruh makam keluarganya disamping rumahnya. Hal ini merupakan bagian dari suatu budaya atau tradisi yang unik karena ada aspek atau nilai yang terkandung di dalamnya seperti; sebagai sejarah masa depan yang akan diperkenalkan kepada generasi penerus atau bahkan generasi selanjutnya untuk menghindari perolehan hak pemiliknya akan dikuasai oleh unsur-unsur yang mempunyai ikatan tersebut. Oleh karena itu, sebagai solusinya adalah masyarakat pada umumnya menguburkan kubur di dalam tanah sebagai bentuk perlawanan terhadap kasus politik atau bahkan menolak politik.

Oleh karena itu, tidak hanya artikel ini, Mohammad Firdaus dkk dengan judul Mencari legitimasi indigeneity: narasi kontentasi dalam perkembangan sejarah Makam Kiti Garpu Lebar 1998-2021. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Komunitas Arab-Hadrami di Indonesia telah berjuang untuk menegaskan identitas aslinya sejak Konferensi Sumpah Pemuda Arab pada tahun 1934 di Semarang. Sejak saat itu, upaya untuk mengklaim identitas mereka sebagai masyarakat adat semakin gencar dilakukan dalam berbagai aspek, termasuk agama, politik, dan ekonomi. Upaya untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat terus berlanjut hingga era reformasi, dengan fokus pada membangun dukungan akar rumput di masyarakat pedesaan. Dalam beberapa kasus, kuburan keramat digunakan sebagai sarana legitimasi dengan mengkonstruksi narasi leluhur Arab terhadap tokoh leluhur yang diyakini sebagai pendiri desa. Salah satu kasus penting yang menggunakan kuburan suci sebagai instrumen legitimasi adalah makam Kiai Cagak Luas di Patemon, Semarang. Sebelumnya makam ini tidak mempunyai identitas khusus. Namun, seorang sayyid menganugerahkan identitas baru kepadanya sebagai seorang sayyid bernama Sulaiman. Narasi tersebut ditolak oleh tokoh-tokoh tertentu di masyarakat Patemon, yang kemudian mengkonstruksi identitas alternatif yang menyatakan bahwa Kiai Cagak Luas adalah orang Jawa asli, bukan orang Arab. Kasus ini menarik untuk dikaji guna menganalisis bagaimana masyarakat Arab-Hadrami mempengaruhi masyarakat pedesaan dalam membangun basis kekuatan sosial dan keagamaan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah lisan untuk mengumpulkan data sejarah terkait konflik masyarakat dan menggunakan analisis sejarah untuk mengkaji akar sejarah konflik yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, kontestasi narasi seputar Kiai Cagak Luas bertujuan untuk memperjuangkan status Kiai Cagak Luas sebagai pribadi. Arab atau Jawa. Kedua, narasi Kiai Cagak Luas sebagai seorang sayyid sengaja dikonstruksi untuk membangun legitimasi tradisional masyarakat Arab-Hadrami yang telah hadir sejak awal dan turut andil dalam membangun desa-desa asli. Ketiga, narasi Kiai Cagak Luas sebagai ulama Jawa diciptakan untuk melawan narasi Arabisasi.[2]

Berbagai isu makam yang di “anggap” ulama banyak bermunculan di jawa timur dan sebagainya, terakahir penulis kaget dengan makam Habib yang baru di pugar dan berada di barat kampus UIN KHAS jember, senyampang pengetahuan penulis sejak kuliah s1 di Stain jember belum banyak mengetahui terkait makam itu, bagi orang awam yang tidak tau terkait soal nasab dan lain lain akan sedikit susah dengan bermuncullan banyak makam yang habib /wali dalam kurun satu dasawarsa ini, tulisan ini mencoba mempertanyakan dan mengulas fenomena apakah ini ? khazanah islam model apakah ini. Ismail Fajri alatas dengan judul bukunya What Is Religius Authority ? menyemai sunnah dan merangkai jamaah, salah satu pembaca Facebook dengan nama Abad Badruzaman menyatakan yang saya kutip secara langsung. :

Apa itu otoritas? Otoritas, sebagaimana dijelaskan Hannah Arendt, adalah relasi hierarkis yang menghubungkan sekelompok orang dengan masa lampau yang mereka anggap fondasional. Sosok yang memiliki otoritas dipercaya memiliki kapasitas untuk menyampaikan dan mentransformasikan masa lampau tersebut sebagai suatu pranata, model, uswah, atau petunjuk untuk masa kini. Otoritas tidak bertumpu pada nalar publik atau kuasa pemimpin, melainkan pada pengakuan terhadap hierarki yang dianggap benar dan absah oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Penjelasan Arendt ini dapat menjadi acuan dalam memahami otoritas keagamaan Islam. Dari penjelasan Arendt juga didapatkan tiga unsur pokok otoritas: imaji tentang (dan hubungan dengan) fondasi temporal, kapasitas untuk mentransformasikan fondasi tersebut sebagai pranata, serta kemampuan untuk mendorong kepatuhan tanpa paksaan.[3]

Dengan begitu maka jika konsep rangkaian Otoritas ini di berlakukan dalam konteks makam-makam tertentu yang selama ini belum di ketahui “karena mungkin tidak terawat dan mungkin karena ajaran yang memang menjauhkan kita untuk merawat makam” atau memang makam hanya sekedar tempat dan sudah tidak perlu di perhatikan, di sinilah buku Islami Fajri alatas menemukan tempatnya, bagaimana sunnah di bangun di rangkai dan jamaah di semai dengan membangun Otoritas, salah satu implikasi adalah bagaimana peran Habib Lutfi membuka dan menemukan makam makam “para Wali yang tidak terjangkau dan tidak terawat” menjadi pusat peradaban berikutnya dalam dimensi khazanah sarkubiyah di tanah air, waluaupun pada akhir-akhir ini menjadi polemic yang tidak berkesudahan,[4] dan relasi kuasa antara Otoritas dan yang menerima sebagai jamaah saling berkelindan (erat menjadi satu) dan menciptakan jamaah dan sunnah-sunnah baru, kira kira begitu mudahnya kalau di baca secara antropology. Walupun memang sebelum Habib Lutfi sosok Gusdur juga mempunyai pengetahuan yang sama dan bisa secara langsung mengetahui adanya makam wali yang tersembunyi.

Dalam dunia studi islam khusus kajian ilmu tasawuf sering kita dikenalkan oleh konsep Nubuwah dan Mubashirat dalam kajian ini juga menyangkut terkait dengan mimpi Profetik memimpikan guru, wali, nabi dll, dalam khazanah islam banyak cerita di pesantren-pesantren kadangkala ada santri yang malam mimpi ketemu gurunya, yang masih hidup dan juga yang sudah meninggal, si santri akan mencoba menafsirkan isi dan fenomena itu, bisa jadi hal yang positif bisa jadi sebaliknya. Jika guru/wali dan kiai atau nabi itu masih hidup cukup dengan menkonfirmasi terkait mimpi itu, tetapi jika sudah meningal itu sudah menjadi persoalan lain. Agus Satriawan  dalam artikelnya menyatakan bahwa Mimpi profetik adalah mimpi dimana kesan spiritual langsung tercermin dalam hati tanpa adanya campur tangan imajinasi. Mimpi dapat diperoleh dan diakses dengan penyucian diri melalui mujâhadah al-nafs.[5] Dalam konsep mimpi Ada ahlam, ruya, ahlam yang lebih merupakan kegelisahan-kegelisahan yang bersifat ilusif. Campur aduk dan bingung serta membutuhkan kejelasan. Kata Ru'ya digunakan sebagai indra penglihatan dalam keadaan sadar dalam bahasa Ibnu Hajar al-Asqalani disebut al-khawatir al ru'ya adalah melihat lambang dalam keadaan tertidur. Al-ru'ya menampilkan simbol dan pemikiran. Mimpi nyata al ru'ya membawa pesan penting berupa berita baik dari Allah sehingga memotivasi seseorang untuk berbuat baik dan memberikan petunjuk atau bahkan membawa pesan yang merupakan ajarannya.[6] Kemudian, apa yang dilakukan Habib Luthfi bin Yahya sebagaimana teori di atas, ini juga tergantung kita dalam memahami secara mendalam khazanah islam di Indonesia.

Sebagai konklusi dalam tradisi NU memang di kenalkan jargon al-muhafazhah alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga perihal lama yang baik dan mengadopsi gagasan baru yang lebih baik).[7] Memang dengan kaidah ini, bisa kita klaim bahwa makam-makam yang bermunculan bisa dianggap merawat tradisi yang lama dan mengambil tradisi baru yang lebih baik tetapi jika di kaitakan dengan kajian ilmu arkeologi dan pembuktikan ilmiah kaidah ini akan sedikit mentah tanpa di bantu dengan horizon keilmuan lain yang memang digunakan untuk membuktikan hal ini.

~Wallahu a’lam~

Oleh : Pengamat Sarkubiyah


Refrensi :

“Facebook.” Diakses 9 Februari 2024. https://www.facebook.com/abualitya.

Hefner, Robert W. “What Is Religious Authority?: Cultivating Islamic Communities in Indonesia By Ismail Fajrie Alatas.” Journal of Islamic Studies 34, no. 1 (1 Januari 2023): 140–44. https://doi.org/10.1093/jis/etac025.

“Mencari Legitimasi Kepribumian: Kontestasi Narasi Dalam Sejarah Pembangunan Makam Kiti Cagak Luas 1998-2021.” Diakses 19 November 2023. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/225468.

NU Online. “Memahami Konsep al-Ishlah ila Ma Huwal Ashlah KH Ma’ruf Amin.” Diakses 9 Februari 2024. https://www.nu.or.id/opini/memahami-konsep-al-ishlah-ila-ma-huwal-ashlah-kh-ma-ruf-amin-abBdV.

Satriawan, Lalu Agus. “Analisa Sufistik Mimpi Nubuwwah Dalam Proses Kenabian.” Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam 1, no. 1 (4 Juni 2011): 18–37. https://doi.org/10.15642/teosofi.2011.1.1.18-37.

 



[1] Judul ini, merifer karya Ismail Fajri alatas dengan judul buku What Is Religius Auhtority ? menyemai sunnah dan merangkai jamaah . Mizan 2024.

[2] Mencari Legitimasi Kepribumian: Kontestasi Narasi Dalam Sejarah Pembangunan Makam Kiti Cagak Luas 1998-2021, diakses 19 November 2023, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/225468.

[3] Facebook, diakses 9 Februari 2024, https://www.facebook.com/abualitya.

[4] Robert W Hefner, What Is Religious Authority?: Cultivating Islamic Communities in Indonesia By Ismail Fajrie Alatas, Journal of Islamic Studies 34, no. 1 (1 Januari 2023): 14044, https://doi.org/10.1093/jis/etac025.

[5] Lalu Agus Satriawan, Analisis Sufi Mimpi Nubuwwah Dalam Proses Nabi, Teosofi : Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 1, no. 1 (4 Juni 2011): 18 37, https://doi.org/10.15642/teosofi.2011.1.1. halaman 18-37.

[6]seorang Satriawan.

[7] Memahami Konsep al-Ishlah ila Ma Huwal Ashlah KH Maruf Amin, NU Online, diakses 9 Februari 2024, https://www.nu.or.id/opini/memahami-konsep-al-ishlah-ila-ma-huwal-ashlah-kh-ma-ruf-amin-abBdV.

Posting Komentar untuk "Politik Makam dan Makam Politik : What Is Religius Authority ? Menyemai Sunnah dan Merangkai Jamaah"