Bahwa
dengan adanya media sosial membuat ruang berekresi terbuka secara lebar, contoh
kecil, adalah apabila ada stadium yang di huni 50 penonton sepakbola, maka
sebanyak 50 ribu itu adalah pakar. Sepakbola, semua bisa beropini dan
menyebarluaskan opini mereka, jika dalam penyebaran dengan vibes positif dan
dengan argumentasi yang baik dan sopan itu tidak masalah, tetapi yang terjadi
adalah sebaliknya adalah ujaran kebencian dan hasutan fitnah yang berujung pada
pemakzulan informasi.[1]
Sumber informasi yang sangat
melimpah ruah dan tidak terbendung adalah anak hasil dari perkembangan
teknologi yang ada. Perkembangan teknologi terutama media sosial dan
smartphone, membuat sebuah keniscayaan. Dan
mungkin juga menjadi masalah baru untuk semua orang bukan hanya bagi sebagian
orang yang susah membedakan mana berita yang berpotensi menciptakan ujaran
kebencian dan berita yang mengandung informasi yang kreatif dan memiliki informasi
yang penting dalam dimensi pengetahuan umum.
Yang menjadi permasalahan adalah peran pakar
yang sekolah tinggi-tinggi dalam dimensi ini dan berlajar terkait hal tertentu,
misalnya harus menerima pandangan yang tidak di terima di tengah masyarakat
karena di anggap hoax sedangkan yang bersangkutan sudah sangat berusaha hampir
1/3 hidupnya untuk mengembangkan dan mengkaji isu tersebut, misalnya terkait
dengan implementasi Wolbachia sebagai pencegah nyamuk demam berdarah di
indonesia. Banyak berita hoax yang menyatakan bahwa nyamuk Wolbachia adalah
bagian dari nyamuk demam berdarah, informasi yang missunderstanding dan
kurangnya informasi menyebabkan ujaran-ujaran penolakan terhadap pengembangan
nyamuk ini. Padahal nyamuk ini, di kembangkan dalam rangka penanggulangan DBD
dengan basis teknologi Wolbachia. yang mana,nyamuk ini berfungsi kawin dengan
nyamuk DBD untuk melemahkan virus DBD dalam nyamuk dan ini terungkap berhasil
menurunkan angka tinggi DBD dalam beberapa tahun terkahir.[2]
Netizen dengan cepat menaggapi itu
sangat bahaya padahal pengetahuan itu sebaliknya, sampai mantan Menteri
Kesehatan fadhilah supari harus berkampanye di tiktok demi menjelaskan hal ini
berkali-kali, apa kemudian kita masih akan menganggap informasi sekelas dari
fadhilah supari sebagai hoax ? tega sekali negeri ini dan netizen kalau melihat
dengan sisi yang demikina, ini yang saya masksud dalam judul di atas matinya
kepakaran yang telah ada.
Tom Nicols dalam buku The Death of
expertise menyatakan hari-hari ini kita harus mencerna berbagai informasi
dengan benar. Buku yang kemudian di terjemahkan dalam Bahasa indonesia dengan
judul “Matinya Kepakaran” ini masih relevan dengan proses dan kehidupan bermedia
sosial yang ada di tanah air. Penulisnya adalah Tom Nichols, professor di
US Naval War College, beliau mulai menulis bukunya
beberapa tahun lalu. Semula ia ingin menulis tentang masyarakat Amerika yang
kian tak peduli dan acuh tak acuh pada perbincangan wacana publik. Nichols
juga melihat, orang bukan saja kian tak dapat informasi yang benar.
Akan tetapi, “memerjuangkan” informasi yang salah sambil tak mau belajar atau
mencari tahu yang benar. Yang dikira fakta, dipertahankan, walau sekabur
apapun "fakta" tersebut. Parahnya,
pendapat profesional dan para ahli yang kompeten di bidangnya, mereka tolak.
Hal ini membuatnya terkejut dan khawatir. Dari situ lahir buku ini yang
memeringatkan masyarakat Amerika saat ini. Yang jadi pertanyaan
adalah relevankah
buku ini bagi kita di Indonesia?
Dalam
konteks Indonesia, khususnya masyarakat islam kita
mempunyai adagium yang terkenal di pesantren dengan istilah
أنْظُرْ مَا قَالَ وَ لَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
“Lihatlah apa
yang di bicarakan dan jangan lihat siapa yang berbicara”
Pertama, jika
kita adalah kalangan pesantren yang paham tentang kebahasaan dan kadiah
kebahasaan dalam kata “Maa” dalam lafadh maqalah di atas, adalah isim maushul
yang mustarak, sedangkan isim maushul adalah katagori dari isim makrifat yang
makna sedernahanya adalah kalimat isim yang sudah jelas dan berbading terbalik
dengan makna isim makiroh yang mempunyai arti kata benda yang bersifat umum dan
membutuhkan penejelasan lebih lanjut. Dari
sini maka isi perkataan apa yang harus di lihat dengan tidak mempertimbangkan
orang yang mengeucapkan adalah isi perkataan yang terbebas dari hoax, teruji
secara argumentatif dan bisa di pertanggung jawabkan, jika bermedia sosial
dengan dimensi pemahaman ini maka hoax akan terkendali.
Kedua, seakan-akan maqaloh di atas bersebarangan dengan apa yang di inginkan dalam buku Tom Nicols tentang matinya kepakaran, akan tetapi kalau kita merujuk dalam kajian kitab-kitab terdahulu terkait dengan kajian ini, misalnya dalam kitab-kitab para Ulama yang bersandarkan dari kitab-kitab Allah yang di turunkan sebelum Nabi Muhammad dan di dalam al-Quran dan as-sunnah, bahwa maksud dari maqolah tersebut berisikan pembicaraan yang baik dan benar dengan berpatokan kepada kepakaran seseorang dan ulama tertentu, dan hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat al Baqarah dengan istilah orang-orang yang bertaqwa, :
وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (Q.S. Al-Baqarah, 2:4).
Dengan demikian, kebenaran terhadap ajaran masa lalu dan Al-qur’an
mencoba merangkup dan memberikan syarah dan melengkapi adalah bagian dari
memperjelas informasi, maka kaidah di atas cukup relevan dalam hal ini,
penggunaan isroiliyat dalam
dimensi ilmu tafsir, kisah-kisah nabi terdahulu, dan syar’u man qoblana dalam dimensi ushul fiqh adalah bukti bawha Al-qur’an
mengajarkan tentang point penting dalam isi pembicaraan dan jangan melihat
orang yang membicarakan sesuatu tersebut. Dengan catatan sudah
mengecek rekam jejak informasi tersebut dengan ajaran-ajran inti dalam Al-Qur’an dan hadist.
Kalau perumpamaan di atas diarahkan kepada para penguasa, maka dalam hadis berikutnya, imbauan tersebut diarahkan kepada para ilmuwan dan para ulama, sebagai berikut:
وَعَلَى الْعَاقِلِ مَا لَمْ يَكُنْ مَغْلُوْبًا عَلَى عَقْلِهِ أَنْ تَكُوْنَ لَهُ سَاعَاتٌ سَاعَةٌ يُنَاجِيْ فِيْهَا رَبَّهُ وَسَاعَةٌ يُحَاسِبُ فِيْهَا نَفْسَهُ وَسَاعَةٌ يَتَفَكَّرُ فِيْهَا فِيْ صَنْعِ اللهِ وَسَاعَةٌ يَخْلُوْ فِيْهَا لِحَاجَتِهِ مِنَ الْمَطْعَمْ وَالْمَشْرَبِ (رواه ابن حبان والحاكم)
“Bagi
mereka yang berakal cerdas (ilmuwan, ulama dan cendekiawan), yang tidak
dikalahkan kecerdasan akalnya (tidak mendewakan akal pikirannya), hendaklah
mereka dapat membagi waktu dengan baik dan benar. Yaitu sebagian waktu
disediakan untuk bermunajat kepada Allah. Sebagian waktu untuk memperhitungkan segala
kegiatan dan aktifitasnya. Sebagian untuk memperhatikan segala ciptaan Allah
(mengadakan penelitian terhadap segala apa yang ada dalam alam semesta ini dan
segala kejadiannya yang menakjubkan). Sebagian lagi untuk memikirkan
keperluannya, berupa makanan dan minuman,”. (HR. Ibnu Hibban, No: 361 dan
Hakim, No: 652).
Banyak lagi perumpamaan-perumpamaan dari kitab-kitab
terdahulu yang sangat berharga bagi kita, yang diriwayatkan hadis Nabi s.a.w.
dan ajaran-ajaran lain yang dapat kita peroleh dengan mengkaji kitab-kitab
hadis. Mengenai petunjuk kebenaran dan pelajaran yang berharga, kita dapat
memperolenya dari siapapun. Sayidina Ali ibn Abi Thalib pernah berpesan:[3]
اُنْظُرْ إِلَى مَا قِيْلَ وَلَا تَنْظُرْ لِمَنْ قَالَ
“Lihatlah kepada apa yang dikatakan dan jangan melihat kepada siapa yang mengatakan”.
Dengan demikian, dalam bermedia sosial yang terjadi, urutan pertama adalah dengan melihat isi kontennya, apakah bertolak belakang dengan ajaran agama atau tidak. Kedua, apakah mengandung ujaran kebencian dan ujaran memecah belah. Ketiga, harus dengan adanya dimensi positif dan apresiasi, kalaupun memang ingin mengkritik upayakan dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan dan tentunya di dukung oleh data dan fakta yang benar. Sehingga, ujaran-ujaran tersebut memberikan vibes positif dalam memberikan limpahan informasi yang ada.
Selamat membaca !
Oleh
: Mahasiwa Pasca di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
[1] “REVIEW BUKU: Matinya Kepakaran, Cermin Perilaku Kita Di
Dunia Maya,” Rekomendasi Buku Gramedia, 4 Februari 2019,
https://www.gramedia.com/blog/review-buku-matinya-kepakaran-tom-nicholscermin-perilaku-kita-di-dunia-maya/.
[2] “Portal Jabarprov - Satu Portal untuk Semua Hal Tentang Jawa
Barat,” diakses 19 Februari 2024, https://jabarprov.go.id.
[3] “Perumpamaan yang Berkesan dari Kitab Terdahulu,” NU
Online, diakses 19 Februari 2024,
https://jabar.nu.or.id/taushiyah/perumpamaan-yang-berkesan-dari-kitab-terdahulu-YGtdS.
Posting Komentar untuk "MATINYA KEPAKARAN : MEDIA SOSIAL DAN KESANTUNAN SOSIAL"