MENGIDGHAMKAN DUA HURUF SEJENIS YANG AWALNYA BOLEH TIDAK DIIDGHAMKAN.

 


 Dalam konteks fi’il amar dan fi’il mudlari’ yang dimasuki oleh amil jazem dimana keduanya tidak bertemu dengan dlamir rafa’ mutaharrik yang menyebabkan dua huruf sejenisnya tidak boleh diidghamkan, atau keduanya tidak dimasuki oleh alif tatsniyah, wawu jama’, ya’ muannatsah mukhatabah yang menyebabkan dua huruf sejenisnya wajib diidghamkan, maka dua huruf sejenisnya memungkinkan untuk diidghamkan dan memungkinkan juga untuk tidak diidghamkan.

 Pada saat dua huruf yang sejenis dari fi’il amar dan fi’il mudlari’ yang dibaca jazem sebagaimana di atas akan diidghamkan, maka prosesnya adalah sebagai berikut:

Fi’il amar

• Lafadz مُدَّ (fi’il amar) asalnya adalah اُمْدُدْ

• Ketika dua huruf yang sejenis dalam lafadz اُمْدُدْ akan diidghamkan, maka harakat dal yang pertama harus dipindah atau ditukar dengan harakat huruf sebelumnya, sehingga menjadi اُمُدْدْ. Pemindahan atau pertukaran ini dilakukan karena persyaratan untuk terjadinya pengidghaman adalah “berharakatnya” huruf yang terletak sebelum dua huruf yang sejenis. Dua huruf yang sejenis tidak mungkin diidghamkan apabila huruf sebelum keduanya berharakat sukun.

• Setelah terjadi pemindahan atau pertukaran, maka dua huruf yang sejenis sama-sama berharakat sukun (terjadi iltiqa’ al-sakinaini). Karena demikian, maka huruf yang kedua harus diharakati. Tentang harakat huruf yang kedua dapat dirinci sebagai berikut :

o Fathah, karena fathah merupakan harakat yang paling ringan, sehingga menjadi اُمُدْدَ

o Kasrah, karena hukum asalnya adalah: “huruf yang berharakat sukun apabila ingin diharakati, maka ia diharakati dengan menggunakan kasrah”, sehingga menjadi اُمُدْدِ

o Dlammah, karena disesusaikan dengan harakat fa’ fi’il, sehingga menjadi اُمُدْدُ

• Setelah huruf sejenis yang kedua diharakati, maka huruf sejenis yang pertama harus diidghamkan kepada huruf sejenis yang kedua, sehingga menjadi اُمُدَّ , اُمُدِّ dan اُمُدُّ

• Hamzah washal yang terdapat dipermulaan kata harus dibuang karena tidak dibutuhkan. Maksudnya, tanpa hamzah washal lafadz sudah dapat dibaca, sehingga menjadi مُدَّ , مُدِّ dan مُدُّ

• Pada saat dua huruf sejenis dalam fi’il amar mudla’af sebagaimana di atas diidghamkan dan kemudian huruf akhirnya diharakati fathah, kasrah atau dlammah sebagai konsekwensi agar tidak terjadi iltiqa’ al-sakinaini, maka status kemabnian fi’il amar bukan berarti dimabnikan ‘ala al-fathi, atau ‘ala al-kasri, atau ‘ala al-al-dlammi (dengan mempertimbangkan realitas harakat huruf akhir), akan tetapi tetap dimabnikan sesuai dengan hukum asalnya, yaitu mabni ‘ala al-sukun karena fi’il amar ini termasuk dalam kategori shahih al-akhir wa lam yattashil bi akhirihi syaiun.

Fi’il mudlari’

• Lafadz لَمْ يَمُدَّ (fi’il mudlari’) asalnya adalah لَمْ يَمْدُدْ

• Ketika dua huruf yang sejenis dalam lafadz لَمْ يَمْدُدْ akan diidghamkan, maka harakat dal yang pertama harus dipindah atau ditukar dengan harakat huruf sebelumnya, sehingga menjadi لَمْ يَمُدْدْ. Pemindahan atau pertukaran ini dilakukan karena persyaratan untuk terjadinya pengidghaman adalah “berharakatnya” huruf yang terletak sebelum dua huruf yang sejenis. Dua huruf yang sejenis tidak mungkin diidghamkan apabila huruf sebelum keduanya berharakat sukun.

• Setelah terjadi pemindahan atau pertukaran, maka dua huruf yang sejenis sama-sama berharakat sukun (terjadi iltiqa’ al-sakinaini). Karena demikian, maka huruf yang kedua harus diharakati. Tentang harakat huruf yang kedua dapat dirinci sebagai berikut :

o Fathah, karena fathah merupakan harakat yang paling ringan, sehingga menjadi لَمْ يَمُدْدَ

o Kasrah, karena hukum asalnya adalah: “huruf yang berharakat sukun apabila ingin diharakati, maka ia diharakati dengan menggunakan kasrah”, sehingga menjadi لَمْ يَمُدْدِ

o Dlammah, karena disesusaikan dengan harakat fa’ fi’il, sehingga menjadi لَمْ يَمُدْدُ

• Setelah huruf sejenis yang kedua diharakati, maka huruf sejenis yang pertama harus diidghamkan kepada huruf sejenis yang kedua, sehingga menjadi لَمْ يَمُدَّ , لَمْ يَمُدِّ dan لَمْ يَمُدُّ

• Pada saat dua huruf sejenis dalam fi’il mudlari’ mudla’af sebagaimana di atas diidghamkan dan kemudian huruf akhirnya diharakati fathah, kasrah atau dlammah sebagai konsekwensi agar tidak terjadi iltiqa’ al-sakinaini, maka tanda jazemnya bukan berarti dengan menggunakan fathah, kasrah, atau dlammah (dengan mempertimbangkan realitas harakat huruf akhir), akan tetapi tetap menggunakan sukun karena fi’il mudlari’ ini termasuk dalam kategori shahih al-akhir wa lam yattashil bi akhirihi syaiun.

Oleh : Tim Kepenulisan Nahwu al-Bidayah

Posting Komentar untuk "MENGIDGHAMKAN DUA HURUF SEJENIS YANG AWALNYA BOLEH TIDAK DIIDGHAMKAN."