Secara umum dapat ditegaskan bahwa substansi yang membedakan antara ma’thuf yang menggunakan wawu athaf dengan maf’ul ma’ah adalah terletak pada konsep al-isytirak fi nisbat al-hukmi (yang jatuh sebelum dan setelah wawu memiliki kedudukan dan hukum yang sama karena amil dari keduanya adalah sejenis dan bahkan satu).
Konsep al-isytirak fi nisbat al-hukmi berlaku dalam bab athaf sehingga antara ma’thuf dan ma’thuf alaih memiliki kedudukan dan hukum yang sama karena amil dari keduanya adalah sejenis dan bahkan satu, sementara dalam konteks maf’ul ma’ah konsep al-isytirak fi nisbat al-hukmi tidak berlaku, sehingga antara yang jatuh sebelum dan sesudah wawu ma’iyah tidak memiliki kedudukan dan hukum yang sama karena tujuan awal didatangkannya wawu ma’iyah adalah penegasan tentang terjadinya mushahabah atau kebersamaan antara yang jatuh setelah wawu dengan yang jatuh sebelum wawu. Bandingkan contoh dan uraian berikut ini:
• جَاءَ مُحَمَّدٌ وَعَلِيٌّ : “Muhammad dan Ali telah datang”
Wawu yang terdapat dalam contoh ini adalah wawu athaf, sehingga lafadz عَلِيٌّ disebut sebagai ma’thuf dan lafadz مُحَمَّدٌ disebut sebagai ma’thuf alaih. Dalam contoh ini, konsep al-Isytira’ fi nisbat al-hukmi berlaku pada lafadz مُحَمَّدٌ dan lafadz عَلِيٌّ dimana keduanya memiliki kedudukan dan hukum yang sama karena amil dari keduanya adalah sejenis dan bahkan satu, yaitu lafadz جَاءَ. Substansinya, lafadz مُحَمَّدٌ dan lafadz عَلِيٌّ memiliki kedudukan dan hukum yang sama, yaitu sama-sama berkedudukan sebagai fa’il dan berhukum rafa’, meskipun secara formal dalam konteks contoh di atas lafadz مُحَمَّدٌ biasa disebut sebagai ma’thuf alaif yang berkedudukan sebagai fa’il, sedangkan lafadz عَلِيٌّ biasa disebut sebagai ma’thuf. Konsep athaf pada dasarnya merupakan upaya efisiensi untuk menghindari pengulangan amil. Maksudnya, Lebih efisien mengucapkan جَاءَ مُحَمَّدٌ وَعَلِيٌّ dibandingkan dengan mengucapkan جَاءَ مُحَمَّدٌ جَاءَ عَلِيٌّ (dengan mengulang amil جَاءَ dua kali). Dalam bab athaf yang ingin ditekankan adalah al-isytirak baina al-ma’thuf wa al-ma’thuf alaih fi nisbat al-hukmi.
• جَاءَ مُحَمَّدٌ وَغُرُوْبَ الشَّمْسِ: “Muhammad telah datang bersamaan dengan terbenamnya matahari”
Wawu yang terdapat dalam contoh ini adalah wawu ma’iyah, sehingga lafadz غُرُوْبَ الشَّمْسِ disebut sebagai maf’ul ma’ah. Dalam contoh ini, konsep al-Isytira’ fi nisbat al-hukmi tidak berlaku pada lafadz مُحَمَّدٌ dan lafadz غُرُوْبَ الشَّمْسِ. Karena demikian, maka keduanya memiliki kedudukan dan hukum yang berbeda. Lafadz مُحَمَّدٌ berkedudukan sebagai fa’il yang dibaca rafa’ sedangkan lafadz غُرُوْبَ الشَّمْسِ berkedudukan sebagai maf’ul ma’ah yang dibaca nashab. Dalam bab maf’ul ma’ah yang ingin ditekankan adalah konsep mushahabah (kebersamaan) antara yang jatuh setelah wawu ma’iyah dengan yang jatuh sebelum wawu ma’iyah, bukan al-isytirak fi nisbat al-hukmi.
Membedakan status wawu, apakah termasuk dalam kategori wawu athaf atau wawu ma’iyah menjadi lebih mudah pada saat kondisinya cukup “ ekstrim” dimana yang jatuh setelah wawu tidak sejenis dengan yang jatuh sebelum wawu. Dalam contoh جَاءَ مُحَمَّدٌ وَغُرُوْبَ الشَّمْسِ dapat ditegaskan secara gamblang bahwa lafadz غُرُوْبَ الشَّمْسِ dan lafadz مُحَمَّدٌ tidak sejenis (مُحَمَّدٌ merupakan jenis manusia, sedangkan غُرُوْبَ الشَّمْسِ bukan merupakan jenis manusia), sehingga antara keduanya tidak memungkinkan untuk diathafkan. Karena demikian, maka wawu yang ada dipastikan berstatus sebagai wawu ma’iyah dan lafadz غُرُوْبَ الشَّمْسِ berkedudukan sebagai maf’ul ma’ah yang harus dibaca nashab.
Kondisi “ekstrim” juga terjadi ketika huruf wawu jatuh setelah fi’il yang memiliki faidah musyarakah (saling) dimana sebuah pekerjaan tidak mungkin terjadi kecuali melibatkan dua pihak atau lebih. Dalam contoh تَصَالَحَ عَلِيٌّ وَمُحَمَّدٌ (Ali dan Muhammad saling berdamai) dapat ditegaskan bahwa wawu yang ada disebut sebagai wawu athaf dan tidak memungkinkan dianggap sebagai wawu ma’iyyah karena fi’il تَصَالَحَ yang diikutkan wazan تَفَاعَلَ memiliki faidah musyarakah (saling) yang menuntut dua pihak atau lebih melakukan perbuatan yang sama. Karena demikian, maka lafadz مُحَمَّدٌ harus dianggap sebagai ma’thuf dan tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai maf’ul ma’ah.
Kondisi “fleksibel” dan “tidak ekstrim” dimana status wawu memungkinkan untuk dianggap sebagai wawu athaf dan memungkinkan juga dianggap sebagai wawu ma’iyah – juga dapat terjadi. Hal ini terjadi ketika yang jatuh setelah wawu sejenis dengan yang jatuh sebelum wawu dan fi’ilnya bukan merupakan fi’il yang memiliki faidah musyarakah. Dalam contoh جَاءَ الْاَمِيْرُ وَالْجَيْش dapat ditegaskan bahwa wawu yang ada memungkinkan untuk disebut sebagai wawu athaf dan memungkinkan juga untuk disebut sebagai wawu ma’iyah. Ketika huruf wawu dianggap sebagai wawu athaf, maka lafadz الْجَيْشُ berkedudukan sebagai ma’thuf yang harus dibaca rafa’. Sedangkan ketika huruf wawu dianggap sebagai wawu mai’yah, maka lafadz الْجَيْشَ dianggap berkedudukan sebagai maf’ul ma’ah yang harus dibaca nashab. Perhatikan contoh dan uraian berikut ini :
• جَاءَ الْاَمِيْرُ وَالْجَيْشُ : “seorang pemimpin dan pasukan telah datang”
Dengan menjadikan wawu sebagai wawu athaf, titik fokus yang ingin ditekankan adalah “ hukum datang” yang disematkan kepada masing-masing lafadz الْاَمِيْرُ dan lafadz الْجَيْشُ, bukan “ mushahabah” atau “kebersamaan” yang terjadi antara الْاَمِيْرُ dan الْجَيْشُ.
• جَاءَ الْاَمِيْرُ وَالْجَيْشَ : “seorang pemimpin telah datang bersamaan dengan pasukan”
Dengan menjadikan wawu sebagai wawu ma’iyah, titik fokus yang ingin ditekankan adalah “mushahabah” atau “kebersamaan” yang terjadi antara الْاَمِيْرُ dan الْجَيْشَ, bukan “ hukum datang” yang disematkan kepada masing-masing lafadz الْاَمِيْرُ dan lafadz الْجَيْشَ.
.
.
Oleh : Tim Kepenulisan Nahwu al-Bidayah
Posting Komentar untuk "Membedakan Antara Wawu Athaf Dan Wawu Ma’iyah."