Umum dikenal bahwa salah satu hikmah Isrā' Mi'rāj disamping turunnya perintah kewajiban shalat, adalah sebagai penghiburan atas kesedihan Nābi Muḥammad setelah ditimba musibah yang berturut-turut dengan wafatnya paman tercinta, Abū Ṭālib kemudian disusul isterinya, Khadījah yang kelak disebut sebagai ‘Ām al-Ḥuzn yang artinya tahun kesedihan.
Di Masyarakat perayaan Isrā' Mi'rāj diperingati setiap tanggal 27 Rajab bertepatan dengan diperjalankannya Nābi Muḥammad SAW dari Masjid al-Ḥarām ke Masjid al-Aqṣā hingga dinaikan ke Sidrat al-Muntahā. Tanggal ini mashūr diyakini kebenarannya sehingga setiap tahun diadakan berbagai festival mewah untuk mengenangnya, tetapi perlu di ingat bahwa mashūr merupakan dua hal berbeda dengan mutawwatir. Sesuatu yang mashūr ditengah masyarakat seringkali tidak memiliki tingkat kepastian yang akurat terkait krebilitasnya tidak jelas dari mana hal tersebut berasal. Meskipun dikenal luas, mashūr tidak menjamin kebenaran. Tingkat kebenaran hanya ditentukan dengan data yang dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan mutawwatir, memiliki kredibelitas yang diakui dan disampaikan oleh figur yang dapat dipertanggung jawabkan dengan tingkat kekonsistenan yang tinggi.
Pendapat bahwa Isrā' Mi'rāj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke 10 Kenabian adalah pendapat Al-Allāmah al-Manshūrfūrī dan diadopsi secara luas oleh masyarakat. Pendapat ini mendapat kritik dari Safi al-Rahman Mubārakfūrī, menurutnya apabila Nābi Muḥammad diberangkat pada tanggal 27 Rajab tahun ke 10 kenabian tentu mengunggurkan klaim bahwa Khadījah telah meninggal sebelumnya. Dalam kitab-kitab Sirah, seperti Dzahābī dalam Siyarnya bahwa Khadījah meninggal pada 10 bulan Ramaḍān tahun 10 Kenabian dan selaras dengan Ibn Katsīr bahwa kejadian ini terjadi sebelum Nābi melakukan perjalanan Isra dan perintah shalat belum diturunkan. Artinya cerita yang mashūr disampaikan oleh masyarakat yang secara bersamaan meyakini Isrā' Mi'rāj sebagai penghiburan Nābi atas kematian Khadījah bertentangan, karena berkonsekuensi Khadījah masih hidup hingga dua bulan, kemudian wafat bulan depan di Ramaḍān beliau wafat.
Mubārakfūrī kemudian melampirkan beragam pendapat tentang tahun terjadi Isrā'. Pendapat pertama adalah bertepatan ketika Rasūlullāh diangkat menjadi Nābi ini adalah pendapat Ibnu Jarīr Ath-Tha'barī. Pendapat kedua, terjadi setelah lima tahun diangkat menjadi Rasūl dan ini pendapat Imām An-Nawawī dan Imām Al-Qurṭubī. Ketiga adalah bertepatan pada 27 Rajab sesuai pendapat Al-Allāmah al-Manshūrfūrī. Menurut Imam Mubārakfūrī ketiganya tertolak karena kecacatan kronologis, yang meniscayakan Khadījah masih hidup seperti uraian diatas. Kemudian Imām Mubārakfūrī melampirkan tiga pendapat terakhir yakni Isrā' terjadi enam bulan sebelum hijrah pada bulan Muharram, yang lain berpendapat dua bulan setelah hijrah bertepatan Muharram dan pendapat terakhir setahun sebelum hijrah, pada bulan Rabīʿ al-Awwal. Ketiga pendapat terakhir sepakat atas tahun 13 Kenabian. Ketiga pendapat terakhir tidak dapat diverifikasikan kebenarannya.
Terjadinya beragam pendapat tersebut ditanggapi oleh Ibn Taymiyyah bahwa tidak ada dalil yang spesifik terkait waktu kronologis Isrā' Mi'rāj pada tanggal maupun bulan tertentu. Ketiadakan bukti, disini menjadi sebab perselisihan oleh para ulama . Ditinjau dengan keberadaan beberapa literatur hadits maupun sirah dapat diketahui bahwa peristiwa diangkatnya Nābi terjadi dimasa-masa akhir sebelum hijrah ke Madinah. Selain itu, sejauh penelusuran yang penulis lakukan terhadap beragam literatur klassik tidak ditemukan riwayat tentang interaksi peristiwa Isrā' Miraj dari Abū Ṭālib dan Isrā', baik respon maupun pembelaannya maka dapat disimpulkan bahwa keduanya telah wafat sebelumnya. Kami hanya mendapati dalam literatur Syi'ah bahwa Khadījah masih hidup setelah peristiwa kenaikan Nābi. Disebutkan dalam kitab Bihār al-Anwār bahwa pada peristiwa Mi'rāj, Rasūlullāh memetik buah dari pohon ṭūbā di Surga serta memakannya, dan kemudian pulang ke dunia untuk menggauli Khadijah atas berkahnya kemudian mengandung Fāṭimah Alaihāssalām. Sumber ini tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya karena tendesius terhadap citra buruk Aisyah dengan menampilkan keutamaan Ahl al-Bayt. tampaknya hadits-hadits semacam ini diproduksi dengan sengaja sebagai legistimasi kelompok tertentu, ditambah dalam literatur Syi'ah juga tidak ditemui respon Abū Ṭālib dan Khadījah terhadap peristiwa Isrā' yang memperkuat kesimpulan kami sebelumnya bahwa Khadījah telah wafat.
Berkaitan dengan hikmah dari Isrā' tidak ditemukan dialog antara Malaikat Jibrīl, Allah Subḥānahu wa Ta'ālā dan Nābi Muḥammad yang melibatkan langsung tentang penguatan terhadap perasaan Nābi, Justru wafatnya Abū Ṭālib dalam keadaan tidak beriman menjadi latar belakang turunnya surat at-Tawbah ayat 113 yang menyebutkan seseorang muslim tidak layak untuk memintakan ampun atas orang musyrik meskipun memiliki kekerabatan yang dekat. Justru dengan turunnya ayat ini menambah kesedihan bagi Nābi karena pamannya yang telah berjasa dalam menolong dakwahnya tidak mendapat keselamatan sama sekali dengan tetap berpegang teguh terhadap gelapnya kekufuran daripada memilih Islām yang terang benderang. Sering kali al-Qur'ān turun dalam bentuk meneguhkan status Kerasulan seperti turunnya surat Al-Mudāthir ayat 1, sebuah janji kemenangan seperti dalam al-Fatḥ ayat 19, menghibur atas kesedihan dari beratnya cobaan dari Kāfir Quraysh pada Surat Ad-Duḥā 1-6, terdapat juga ayat al-Qur'ān yang oleh beberapa ulama dikaitkan dengan sebab turunnya sebagai counter terhadap tuduhan Quraysh yang menyebut Nābi sebagai al-abthar yang berarti terputus maksudnya dengan sebab meninggalnya putera Nābi, Qassim dari Sayyidah Khadījah dan Ibrahim dari Māriya al-Qibṭiyyah. Allah disini tidak menghibur Nābi atas kehilangan puteranya, melainkan membalik argumen lawan dengan pernyataan yang dituduhkan bahwa Qurayshlah yang sebenarnya terputus keturunannya dan tidak dikenal dalam ranah sejarah.
Dalam al-Isrā' ayat 1, serta literatur al-Qur'ān, hadits tidak mencantumkan bentuk penghiburan atas kesedihan Rasūlullāh secara personal. Dalam tafsir klassik dari para ulama yang menghubungkan dua peristiwa tersebut memiliki keterkaitan. Tidak ada informasi secara spesifik yang menyebutkan apakah dengan kematian Khadījah dan Abū Ṭālib, sebagai bentuk penghiburan kepada Nābi. Justru dalam al-Qur'ān, turunnya larangan mendoakan kerabatan yang musyrik bertepatan dengan kematian Abū Ṭālib membuat Nābi semakin sedih sebagaimana Nābi Ibrāhīm ketika itu meratapi nasib ayahnya yang meninggal dalam keadaan menyembah berhala dan Allah melarangnya untuk mendoakannya. Sebenarnya kematian orang terdekat Nābi bukanlah hal yang sekali dua kali, namun sering terjadi seperti mulai dari kehilangan Ibrāhīm, Qāsim, Ruqayyah, Zainab, Ummu Kulthūm sebagai putera dan puteri Nābi, lalu kehilangan Hamzah paman tersayangnya yang berdampak melemahkan barisan muslimin diperang Uhud dan pukulan psikologis bagi Nābi, disusul dengan meninggalnya sepupu Nābi, Ja‘far bin Abī Ṭālib dalam perang Mu’tah, dan lain-lain. Namun tidak didapati sekalipun Allāh secara langsung untuk menurunkan surah tertentu untuk menguatkan psikis Nābi. Realitasnya Allāh tidak sekalipun memberikan penghiburan terhadap Nābinya secara spesifik tentang kehilangan kerabat serta keluarganya dalam jangka yang berturut-turut. Adapun Khadījah seperti pemaparan kami diatas, tidak ada ulama klassik yang menghubungkan kewafataanya dengan peristiwa kenaikan Rasūlullāh, tampaknya usaha pengkaitan ini muncul dari tulisan-tulisan belakangan abad ini. Adapun sebenarnya hikmah dari Isrā' Mi'rāj dipaparkan oleh Ibn Ishāq (w. 767 M) penulis Sīrah Nabawiyyah pertama kali dalam sejarah Islam tidak mengaitkan sama sekali antara kesedihan serta penghiburan Nābi dengan peristiwa Kenaikan ke Surga.
وما ذكر عنه بلاء وتمحيص، وأمر من أمر الله [عز وجل] في قدرته وسلطانه، فيه عبرة لاولى الألباب، وهدى ورحمة وثبات لمن آمن وصدق، وكان من أمر الله سبحانه وتعالى على يقين، فأسرى به سبحانه وتعالى كيف شاء [وكما شاء]، ليريه من آياته ما أراد، حتى عاين [ما عاين] من أمره وسلطانه العظيم، وقدرته التي يصنع بها ما يريد.
“Peristiwa Isrā' ini di dalamnya terdapat ujian, seleksi, dan merupakan salah satu bukti kekuasaan dan kebesaran Allāh. Selain itu, terdapat juga pelajaran bagi orang-orang berakal, petunjuk, rahmat dan penguat keimanan bagi orang yang beriman kepada Allāh dan membenarkannya. Allāh mengisrakan Rasūlullāh sebagaimana yang dikehendaki-Nya untuk memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya seperti yang Dia inginkan, hingga beliau bisa menyaksikan bukti-bukti kekuasaan-Nya terutama dalam mengerjakan apa saja yang dihendaki-Nya.”
Adanya peristiwa Isrā' Mi'rāj tersebut lebih bersifat peneguhan terhadap tingkat propefesionalitas Nābi Muḥammad sebagai penyampai firman Tuhan (comforter) tentang risalah agung akan perintah wajibnya shalat, serta keajaiban-keajaiban yang Allāh tampakan selama Mi'rāj perlihatkan kepada hambanya sebagai bukti keagungannya agar semakin yakin bahwa risalah yang dibawa selama ini adalah nyata dari Rabb Yang Maha Perkara.
.
.
Oleh : Muhammad Rizky Nur Hidayat
Posting Komentar untuk "Benarkah Isra Miraj Sebagai Penghiburan Kesedihan Nabi ?"