Akulturasi Tradisi Tahlilan di Kalangan Masyarakat Nahdiyyin

 


Absstrak

Tahlilan dapat dikatan suatu pertemuan atau suatu perkumpulan untuk melakukan tradisi yang di dalamnya terdapat sebuah bacaan-bacan seperti sholawat, tahmid, zikir-zikir,ayar-ayat al-qur`an, tahmid dan di akhiri dengan doa kepada Allah SWT yang mana pahala dari pembacaan tersebut  di hadiahkan kepada si mayyit serta memintakan ampun atas dosa-dosa yang telah di perbuat untuknya. Tradisi semacam ini yaitu tahlilan masih sering kita jumpai di kalangan masyarakat nahdiyyin, meskipun dikalangan masyarakat tersebut ada beberapa sebagian masyarakat yang meninggalkal tradisi tersebut, bahkan ada yang meninggalkan tradisi tersebut dengan alasan yang tidak logis dan jelas. Dan juga meninggalkan tradisi tersebut dengan alasan karena tradisi semacam itu tidak diajarkan oleh rosulullah SAW. Disamping itu juga ada yang berpendapat bahwasannya tahlilan tersebut memiliki landasan yang normatif, baitu itu secara nas al quran, hadits nabi, dan pendapat ulama` yang biasanya juga disebut dengan ijma`. Jadi penulis berkesimpulan bahwa upacara atau biasa kita sebut denga tradisi tahlilan merupakan sebuah kasuistik terkait tentang budaya islam nusantara yang terjadi sebual akulturalisme dan kearifan lokal. Tahlilan ini memiliki tujuan untuk merealisasikan nilai sempati dan empati kepada keluarga yang sedang mengalami musibah.

A.  Pendahuluan

Dikalangan masyarkat tentunya kita sudah mengenal yang namanya upacara keagamaan yang biasanya kita kenal dengan tradisi atau adat istiadat di tengah-tengah masyarakat yang berada di indonesia lebih khususnya masyarakat muslim nusantara yang berbangsa nahdiyyin. Di kalangan muslim nusantara sudah tidak asing lagi ketika terjadi kematian, yang biasanya kita kenal dengan istilah tahlilah atau bacaan yasinan  pada hari ke- 7, 40, 100, 1000 dan juga biasanya juga dikenal dengan istilah haul ( satu tahunan ) dan seterusnya.

Asal kata tahlilan sendiri sebenernya berasal dari bahasa arab yang berasal dari kata “hallala-yuhallilu-tahlilan, yang diambil dari masdar dari tasrifan tersebut. Kata tersebut sebenernya berasal dari lafadz la ilaha illallah yang kemudian di masukan kepada konsep naht yang merupakan cabang dari ilmu lingustik, kemudian setelah menjadi proses tersebut menjadilah lafadz tahlil-an. Di dalam bacaan tahlilan sendiri terdapat atau mengandung beberapa ayat al quran, shalawat, tahmid, dan kalimat-kalimat toyyibah yang lain, yang mana pahalanya di hadiahkan kepada seorang yang telah meninggal tersebut. Resepsi pembacaan tahlilan tersebut terutama dalam hari-hari tertentu setelah kematian orang muslim tersebut dengan berjamaah (bersama-sama).

Disamping itu ada yang namanya orang ber-ta`ziah dengan tujuan menghubur keluarga yang tertimpa musibah tersebut. Orang-orang yang melakukan ta`ziah tersebut membawa makanan seperti, beras, mie, gula dan lain-lain dengan maksud bersedekan untuk si mayat tersebut. Tentu saja, melakukan hal seperti itu tidak ada nas atau ijma` yang melarang untuk melakuan semacam itu, malah di dalam islam tersendiri di anjurkan. Kemudian, yang menjadi titik permasalahan adalah apabila orang-orang yang berta`ziah tersebut tidak membawa apa-apa dan meminta makan kepada keluarga yang sedang mengalami mesibah. Oleh karena itu islam melarang perlakuan tersebut bahkan nas dan ijma` mengatakan hal seperti itu hukumnya adalah haram.

Tradisi tahlilan semacam ini, masih sering kali kita temukan di kalangan masyarakat nusantara, meskipun banyak di kalangan masyarakat nusantara yang mulai meninggalkan dengan banyak alasan yang berbeda, karena hal semacam kayak ini tidak di ajarkan rosulullah. Sebenarnya tahlilan semacam ini hanya merupakan tradisi syar`i atau dengan kata lain, tahlilan yang telah di lakukan oleh kalangan nahdiyyin tersebut merupakan syri`at yang tradisikan.

 

B.  Pembahasan

1.    Akulturasi agama dan budaya pada masyarakat nahdiyyin.

Negara indonesia merupakan negara yang ber-ideologi berdasarkan pancasila. Pancasila merupakan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat yang berada di indonesia. Negara indonesia di dalamnya terdapat beberapa jenis agama dan kepercayaan lainnya yang diresmikan. Indonesia memiliki panduduk yang mayoritasnya beragama islam.

Akulturasi merupakan sebuah proses yang akan menjadi suatu timbul apabila suatu kelompok masyarakat dengan sauatu kebudayaan tertentu bertemu dengan unsur-unsur kebudayan yang asing dan budaya tersebut dapat diterima dam diolah menjadi suatu kebudayaan tersendiri yang hadir ditengah-tengah masyarkat tanpa menghapus atau menghilangkan kepribadian dari kebudayaan itu sendiri. Akulturasi ini merupakan percampuran dua kebudayaan atau lebih yang mana di antara budaya tersebut saling mempengaruhi dari yang satu dengan yang lainnya. Dari sekian banyaknya akulturasi budaya yang berada di indonesia antara budaya islam dan budaya nusantara, yang mana salah satu terjadinya  akulturasi di indonesia adalah tradisi tahlilan.

Tahlilan merupakan salah satu upacara keagamaan yang dijadikan sebuah tradisi di tengah-tengah kalangan masyarakat nahdiyyin ketika terjadi sebuah peristiwa yaitu kematian. Dilakukannya upacara tersebut yaitu setelah mayyit tersebut dikuburkan, dan biasanya waktu untuk melaksanakannya setalah magrib sampai selesai. Tahlilan tersebut terus dilaksanakan sampai hari ke-7 setelah itu akan ada yang biasanya masyarakat sebut “slametan” yaitu pada hari ke- 40m, 100, 1000 dan seterusnya. Dan biasanya bisa disebut dengan haul (tahunan). Tahlilan merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang berada di nusantara baik itu yang beragama muslim atau yang beragama non muslim. Dilakukannya tradisi tahlilan tersebut sebenarnya telah dilakukan mulai sejak dahulu sampai sekarang.

Dapat kita bisa katakan bahwasannya selurah agama yang berada di indonesia ini mengalami perjumpaan dengan tradisi-tradisi baik itu tradisi lokal dimanapun agama itu berada. Perjumpaan seperti inilah  yang dapat menghasilkan keterpengaruhan satu sama lain. Meskipun yang pada realitanya sering terjadi ketegangan mengenai hal ini, tradisi tahlilan ini pasti mengalami ketegangan tersebut. Sebab adanya sebuah kelompok yang menganggap upacara tahlilan ini merupakan perbuatan yang bid`ah, yang mana perbuatan tersebut tidak pernah diajarkan oleh rosulullah SAW. Kelompok tersebut, yang mengatakan tahlilan itu bid`ah ia menganggap yang dibaca dalam tahlil tersebut tidak pernah rosulullah ajarkan, sehingga oleh sebab itu kelompok tersebut mengatan bid`ah. Menurut kelompok tersebut segala bid`ah itu adalah menyesatkan. Sedangkan kelompok yang mendukung atas adanya tahlilan ini mengatakan bahwasannya yang telah dinyatakan kelompok tersebut itu tidak benar. Kelompok yang medukung hal ini mengatakan bahwasannya tahlilan ini sebenarnya ada telah zaman rosulullah. Pada waktu ada sebagian dari sahabat yang mencampur adukkan ayat-ayat dan perlakuan tersebut rosulullah SAW tidak menegur dan melarannya.

Berdaarkan penelusuran yang penulis temukan, sebenarnya terjadinya pradigma akulturasi antara agama dan budaya pada masyarakat ini ada 2 (dua), yaitu :

a)    Pradigma konfrontatif

Pradigma konfrintatif ini, biasanya pradigma yang sering kali digunkan oleh kelompok yang menolak adanya tahlilan. Pradigma ini mengeklaim bahwasannya agama telah ternodai dan tercampur dengan tradisi klenik. Sehingga agama harus dilakukan pembaharuan atau pemurnian dan mesti menghilangkan islam yang otentik yaitu islam yang sama persis dengan pertama kali muncul di mekkah. Pradigma inilah yang mengeklaim bahwa dengan adanya nilai-nilai keistiadatan memiliki pengaruh kepada agama bahkan dapat mengotori agama tersebut.

b)   Pradigma akomodatif

Pradigma akomodatif ini menyatakan bahwa hal seperti itu mrupakan sebuah keunikan dalam islam yang berada di indonesia. Keunikam tersebut dapat membedakan corak keislaman di toritori lain. Islam seperti inilah yang dapat di terima di negara-negara lebih khususnya negara indonesia.

.               

2.    Diskursus tahlilan dikalanga nahdiyyin

Tradisi tahlilan ini juga menimbulkan diskursus pro dan kontra di kalangan masyarakat islam sendiri. Sebagian beberapa kelompok berpendapat kalo tahlilan itu merupakan kegiatan yang bid`ah (ajaran yang tidak memiliki landasan hukum baik itu dari al-quran maupun hadits). Menurut sebagian kelompok yang megatakan tahlilan bid`ah, ia berpendapat kalo ajaran atau tradisi tahlilan tersebut berasal dari ajaran hindu. Islam menolak akan pendapat tersebut. Kemudian, tersusunlah rangkaian-rangkaian do`a-do`a dan wirid-wirid serta pembacaan yasin yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayyit tersebut dan diadakan ritual-ritual yang biasanya kita sebut dengan selametan pada hari ke-7, 40, 100, dan 1000 yang belom pernah rosulullah dan para sahabatnya ajarkan.

Kelompok yang sepakat dengan adanya tahlilan atau juga bisa disebut dengan kelompok yang pro mengatakan bahwa tahlilan tersebut bukan merupakan ajaran hindu. Selain itu kelompok ini ber-argumentasi kalo tradisi yang dilakukan oleh masyarakat, lebih khususnya masyarakat nahdiyyin bahwa tradisi tahlilan ini memiliki dasar atau sebuah landasan, baik itu dari nas al-quran maupun hadits.

Kalo kita lihat pendapatnya Syeikh ibnu taymiyyah di dalam kitabnya, beliau berpendapat bahwa sebenarnya tradisi tahlilan ini sudah berkembang sejak sebelum abad ke-7 H. Di dalam sebuah kitab yaitu kitab majmu` al fatawa terdapat keterangan bahwa pernah ada seseorang yang bertanya kepada Syeikh ibnu taymiyyah terkait dengan tahlilan ini. Orang yang bernanya berkata kepada ibnu taymiyyah ; Mereka mengawali dan mengakhiri dzikirnya dengan membaca al quran, lalu membaca doa untuk kaum muslimin baik itu masih hidup ataupun meninggal dunia. Mereka mengumpulkan kalimat-kalimat yang di antaranya takbir, tahlil, tahmid, hauqola dan sholawat kepada nabi muhammad SAW. Kemudian ibnu taymiyyah menjawab hal itu ; berjamaah dalam melaksanakan dzikir, mendengarkan ayat-ayat al quran lalu ber-doa, itu merupakan amal yang baik. Seseorang yang berpendapat bahwa pahala-pahala dari bacaan tersebut tidak sampai kepada si mayyit maka sebenarnya seseorang itulah yang bid`ah.

Sedangkan adanya tradisi 7 hari tlah ada sejak generasi sahabat nabi SAW. Sebenarnya sudah sangat terbukti kalo tradisi tahlilan tersebut bukan merupakan ajaran hindu, karena orang-orang hindu tidak ada di daerah arab. Oleh kerena itu tradisi tahlilan ini hukumnya tidak haram atas dasar pernyataan di atas, malah siapun yang melakukan seperti itu “bagus” bahkan dianjurkan didalam agama kita yaitu agama islam terutam di kalangan masyarakat nahdiyyin.

Ada lagi yang berpendapat bahwa tradisi tahlilan yang dilakukan pada hari ke-7, 40, 100 itu memang benar kalo ajaran tersebut bersumber dari ajaran hindu, akan tetapi ajaran tersebut sudah di islamkan. Tradisi tersebut muncul dari upacara kepercayaan animisme dan hindu. Anggapan mereka tentang agama ini, apabila terdapat seseorang muslim yang meninggal dunia, maka ruh dari seseorang tersebut akan kembali kerumah pada malam hari untuk mengunjungi keluarganya. Jika di rumah tersebut tidak ada perkumpulan atau ramai-ramai setelah kematian tersebut dan tidak ada upacara sepeti sesajen, membakar kemenyan, dan sesaji terhadap ruh-ruh ghaib, agar ruh seseorang yang meninggal tersebut tidak marah dan masuk pada jasad orang-orang yang masih hidup dari keluar si mayyit tersebut. Maka semalam para tetangga dan teman-teman atau masyarakat sekitar untuk tidak tidur, yaitu bertujuan membaca mantera-mantera atau sekedar hanya berkumpul-kumpul saja. Hal seperti itu biasanya dilakukan pada malam pertama kematian, selanjutnya pada malam ke-3 sampai ke 1000. Setelah itu, orang-orang yang memiliki kepercayaan tersebut masuk islam, bahkan mereka sampai sekarang melakukan tradisi tersebut. Sebagai langkah awal, sebenarnya para penyebar islam tidak memberantas atau memusnahkan hal tersebut, akan tetapi hanya mengalihkan dari ajaran hindu menjadi upacara yang berbau islami. Sesajen diganti dengan nasi lauk-pauk yang bermaksud untuk disedekahkan, kemudian mantera-mantera diubah dengan dzikir-dzikir, do`a-do`a, serta pembacaan ayat-ayat al quran. Upacara atau tradisi seperti kemudian dinamakan dengan ”tahlilan” yang sekarang menjadi budaya dikalangan masyarakat nahdiyyin.

 

C.  Kesimpulan

Sebenarnya kehadiran islam di nusantara ini menimbulkan suasana yang berunsur islami. Agama islam sangat mampu sekali untuk beradaptasi dengan budaya-budaya lokal dimanapun berada. Adanya hal tersebut sebenarnya menjadikan islam yang berada dinusantara ini lebih mudah diterima di kalangan masyarakat lebih khususnya masyarakat kalangan yang berbangsa nahdiyyin. Datangnya islam ke nusantara sebenarnya memodifikasi sebuah tradisi atau adat istiadat dan ritual ke agamaan untuk memperjelas nilai-nilai keislaman yang ada. Demikian juga tradisi tahlilan ini akan menumbuhkan rasa simpati dan empati terhadap masyarakat yang sedang mengalami musibah. Dan hal tersebut patut untuk terus dilestarikan.

Kegiatan tradisi ritual tahlilan dan sejenisnya sudah sangat terbuki banyak memberikan manfaat, ada beberapa manfaat yang sudah terbukti di kalangan masyarakat nahdiyyin yang telah melaksanakan tradisi tahlilan, yaitu;

a.    Untuk memperingati diri sendiri bahwa akhir dari sebuah kehidupan itu adalah kematian.

b.    Untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal

c.    Tahlilan merupakan salah satu media dakwah  yang sangat efektif dalam menyebarkan agama.

d.    Untuk menenangkan hati bagi masyarakat yang sedang mengalami duka cita

Sebagai bentuk ikhtiar betaubat kepada Allah SWT untuk dirinya sendiri dan saudara yang sedang mengalami musibah


Oleh : Delailul Khoir

Posting Komentar untuk "Akulturasi Tradisi Tahlilan di Kalangan Masyarakat Nahdiyyin"