Identifikasi Identitas ‘Uzayr dalam Al-Qur'ān

 


Abstrack

‘Uzayr menurut mayoritas ahli tafsir dikaitkan dengan Ezra dalam Alkitab Ibrani. Ezra memainkan peran penting dalam polemik abad pertengahan Muslim dengan Ahli Kitab, baik dalam kritik yang eksis dari masa pra-Islam atau modern. Kelompok pertama, peran Ezra diintedikan negatif sebagai pemalsu Tawrat, kelompok kedua, dari kalangan Kritikus Alkitab Modern menganggap Ezra sebagai pihak yang berhasil melakukan kanonisasi dan menkonservasi teks Alkitab. Kedua pendapat tersebut dilestarikan oleh penulis Islam Ortodox (Salaf), Penyembahan terhadap figur Uzayr eksis di Jazirah Arab yang dilakukan oleh sekte sempalan Yudaisme. Artikel ini berusaha mengurai jejak pengkultusan tersebut melalui dokumen dan manuskrip kuno.

 

Latar belakang

Doktrin “Anak Tunggal Tuhan” dikenal luas dalam Iman Kristiani yang terdokumentasi secara resmi dalam kredo Nicea hasil konsili ekuemenis di Konstantinopel. Seringkali Qur'ān menyerang secara frontal konsep Teologis Yahudi dan Nasrani dengan konotasi negatif. Polemik “anak Allah” digambarkan secara tegas dalam Surah At-Tawbah ayat 30 tentang identifikasi Kristus dan  ‘Uzayr sebagai tokoh sentral dalam kedua tradisi keagamaan.

Sorotan masalah muncul dari tradisi Yudaisme yang pada umumnya tidak mengenal kepercayaan terhadap figur tertentu sebagai anak Tuhan. sebab tradisi Yudaisme mengenal sifat Tuhan adalah monoteisme murni dan indepent, tidak memberi ruang terhadap pengkultusan pribadi tertentu. Menyembah ‘Uzayr secara literal menurut keyakinan Yahudi otomatis menyangkal sifat Allah, Orientalis menganggap bahwa Muhammad salah memahami dalam konsep Teologis  Yahudi. Fakhrudin Ar-Razi (1210 M) menyatakan bahwa hal semacam ini di ingkari oleh kalangan Yahudi dimasanya, menurut Ar-Razi bahwa Allah lebih mengetahui maksud dari apa yang disampaikan dari konsep Teologis Yahudi hingga modern ini memang tidak ditemukan kalangan Yahudi yang memposisikan ‘Uzayr sebagai anak Tuhan. Keambiguan jawaban Fakhrudin Ar-Razi dimanfaatkan kalangan Orientalis untuk mengunggat Qur'ān sebagai dokumen sejarah.

Dari berbagai penelitian terdahulu tentang polemik Qur'ān telah banyak dilakukan salah satunya datang dari penelitian Mun’im A. Sirry: Scriptural Polemisc: The Qur’an and Other Religions (2014) dan temuan serupa dari Athur Jeffery: The Foreign Vocabolary of the Qur’an (2007), menurut Mun’im terdapat banyak polemik dalam Qur'ān yang muncul akibat disertai polemik yang faktual dalam sejarah, Mun’im menuduh Qur’an seringkali menyerang psikis dan mendistorsi sejarah khususnya pada sub tema Maria sebagai pribadi Trinitas dan status keputraan Uzayr. Polemik ini berkaitan dengan relasi teologis Yahudi dan Kristen. menurutnya, Qur'ān sering kali memandang agama lain melalui kacamata ekslusif dan tidak menyampaikan informasi secara jujur. Athur Jeffery lebih terfokus pada polemik gramatika kosata asing yang terdapat dalam Qur'ān, Athur Jeffery menuduh Muhammad tidak memahami figur Uzayr.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penulis sebelumnya hanya berfokus dari sisi linguistik kebahasaan maka tulisan ini berusaha merontruksi ulang penafsiran umum tentang ‘Uzayr dengan menggabungkan dua sumber berbeda. Lebih spesifiknya terhadap mengacu pada literatur sejarah baik yang dikanonisasi maupun sumber yang terabaikan. Penelitian ini menggunakan metode Konseptual dengan menyusun beragam sumber dengan menjadikan suatu kerangka yang mudah dipahami.

 

Pembahasan

Secara historis, keyakinan terhadap anak Tuhan, anak Dewa atau anak Langit umum ditemui dalam kepercayaan kuno. Istilah “Anak Tuhan” dalam teks Perjanjian Lama digunakan untuk menyebut manusia yang memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan. Bentuk ini secara spesifik digunakan untuk menyebut  Salomo, Daud, dan dalam bentuk jama’ merujuk pada suku Israel (Kel 4:22) dan Imam-Imam Yahudi dan raja yang saleh (Maz 82:6), menurut Rabi Akkiva sebutan “Anak Allah” tidak berlaku lagi ketika individu tertentu atau komunitas Yahudi tidak melakukan kehendak Allah.[1]

Dalam konteks perjanjian baru “Anak Allah” mengacu pada figur sentral Kekristenan, Yesus. Secara eksplisit dan implisit gelar anak berbeda dengan tradisi Yahudi. Dalam keyakinan Kristen definisi “Anak Allah” atau “Anak-Anak Allah” tidak dapat disamakan dengan istilah “Allah Anak” dalam doktrin tritunggal. Menurut Gerrit Cornelis van Niftrik, pengunaan frasa “Allah Bapa” dan “Anaknya” menunjukkan hubungan ekslusif, antara Allah Bapa dan Kristus, menurutnya hubungan ini berbeda dengan hubungan dengan Nabi-Nya[2]. St. Yohanes menulis frasa “Anak Tunggal” “Anak Satu-Satunya” menurut Bapa Gereja mula-mula hal ini dimaksudkan untuk mempertegas keilahian Al-Masih sebagai manusia.

 

Studi Tafsir

Penafsiran Islam tentang status “Anak Allah” berbeda dengan teolog Kekristenan. Al-Qur’an secara tegas mengkoreksi pengkultusan tokoh-tokoh tertentu, perbuatan ini dikategorikan sebagai Kafir. Kejahatan serupa dengan penyembahan pagan Quraisy terhadap berhala Latta, Uzza, dan Manna sebagai puteri-putri Allah.

Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (QS: At-Tawbah Ayat 30)

    Sumber-sumber terkait ‘Uzayr dalam tradisi Islam minim ditemui, terdapat satu kali penyebutan dalam al-Qur'ān dan Literatur hadits secara spesifik. Menurut Ibn Manzūr nama ‘Uzayr adalah nama Ajam (non Arab) dari bentuk tasgir kata ‘Azr. berasal dari non Arab (Ajam) Ibn Katsir (1373 M) dalam Tafsir al-Qur'ān al-Adzhīm dan Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Ibn Jarīr a-habarī (923 M) dalam Jāmi' al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`ān, al-Qurhubī (1214 M) dalam Al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān wa al Mubayyin limā Tadlammanah min al-Sunnah wa Āy al-Furqan dan mayoritas ahli Tafsir Islam, mengerucut pada otoritas Ibn Abbas dan Wabah ibn Munabih, mengidentifikasikan ‘Uzayr sebagai juru tulis Tawrat dan Nabi yang hidup dimasa transisi Kenabian Sulaiman putra Daud dan Yahya Pembaptis, secara spesifik digambarkan sebagai tokoh protagonis yang mekontruksi Tawrat. [3]

Dokumen Yahudi menkofirmasi ‘Ezrā ben Seraya adalah Imam Yahudi yang hidup pada tahun 480 -440 M. yang diberi tugas oleh Koresh Agung untuk memimpin kepulangan Yahudi dari wilayah Babel ke Yerusalem beserta orang-orang buangan. Ezra dikenal sebagai ha-Sofer, yang merestorasi kembali kitab Musa. Nama ‘Ezrā diadopsi dari serapan bahasa Ibrani עֶזְרָא  artinya “bantuan”. varian yang sejajar adalah עֶזְרָה  dan seakar dengan עָזַר Azar yang artinya “menolong”.

Al-Samaw’al ibn Yayā al-Maghribī (1175 M), karyanya berjudul "Ifām Al-Yahūd" berpendapat lain, menurutnya ’Uzayr sejajar dengan 'Eli'ezer  אֱלִיעֶזֶר, sebab nama ‘Ezrā tidak akan mengalami perubahan ketika diterjemahkan kedalam bahasa Arab karena nama dan konsonannya cocok dengan bahasa Arab.[4] Sebab kata ‘Eli’zer juga memiliki akar kata yang sama dengan Azar berdasarkan kamus Dr. William Smith’s kemungkinan singkatan dari עזריהו Azaryahu "Yahweh menolong".[5] Teks Septuaginta nama ‘Ezrā diserap menjadi "σδρας" Ésdrās dalam ejaan latin oleh St. Jerome. Samaw’al mengidentifikasikan ’Uzayr sebagai figur antagonis yang melakukan pemalsuan terhadap Tawrat. Penafsir Islam dianggap telah melakukan kesalahan karena menganggap Yahudi meyakini ‘Ezrā sebagai Nabi, realitasnya Ezrā hanya dihormati sebagai juru tulis Israel. [6]

Asumsi berbeda muncul dari sarjana modern seperti Paul Casanova dan Toreey mengkaitkan ‘Uzayr dengan Henokh. Identifikasi didasarkan pada bagian kitab terakhir Henokh dalam bahasa Ibrani disebut anak Tuhan setelah peristiwa kenaikannya ke Surga[7]. Hal ini kemudian dikaitkan dengan fragmen Naskah Gulungan Laut Mati hingga keyakinan Mesias. Henokh memiliki kedudukan “manusia saleh”, malaikat berwujud manusia (Hen 46:1). Kedudukan Henokh naik secara drastis pada periode abad ke -7 M sebagai Metatron malaikat yang ditunjuk Tuhan yang memiliki status lebih rendah dari pada Allah (III Hen 12:5). Dalam tradisi Yudaisme dan Islam, Henokh adalah anak keturunan kesembilan belas Adam. Rupanya mustahil, sebab secara bahasa istilah Idris sejajar dengan Henokh dalam kaidah bahasa Ibrani pendapat ini didukung oleh James Belamy dan Yoram Erder.

Selanjutnya, ‘Uzayr dikaitkan dengan Azazil, hipotesa ini didasarkan pada transmutasi fonetik r-l yang menyebabkan perubahan ‘Uziel dengan ‘Uzayr. dalam kitab Tafsir digambarkan sebagai Malaikat yang diusir dari Surga karena melanggar perintah Tuhan, gagasan tentang Malaikat yang turun dari langit juga diperkuat dengan dokumen Yahudi seperti komentar Ibn Ezra, dan legenda Midras. Mazhab Rabi Ismael menyebut Azazel memiliki keterkaitan dengan Uzza dan Azael (Targum Jonathan Kej 6:1). Selain itu Bapa Gereja St. Origen dalam Contra Celsum juga mengidentifikasikan Azazel sebagai setan mantan profesi malaikat[8]. Gagasan tentang malaikat jatuh khas teolog Kristen minim ditemukan dalam literatur Gereja namun dikenal luas dalam tradisi Ibrani hal ini terdokumentasi pada Sefer Devarim 6:1-4  dan didukung oleh teks Qumran.

Penyebutan Ezra sangat umum pada iklim Qur’an diturunkan, figur Henokh dan Ezra mengalami pembauran pada periode Helenistik dan Romawi awal (300 SM-100 M), spesifiknya adalah tulisan regio-filosofis yang terdokumentasi dalam Hermetic Corpus[9]. Beragam naskah ini muncul sebelum Islam eksis dalam pentas sejarah, dapat dipastikan Qur’an merujuk pada figur yang telah muncul dalam tradisi Yudeo-Kristen yang beredar di Timur Tengah.

 

Eksistensi Dalam Dokumen Sejarah

Polemik tentang ‘Uzayr tetap menjadi perdebatan oleh kalangan Islam dan Yahudi, masalah serupa diangkat oleh Ibn al-Arabi dalam Sharh al-Tirmidzi bahwa Orang-orang Yahudi pada masanya mengingkari perkataan bahwa ‘Uzayr adalah putra Tuhan. Rabi Yahudi Musa bin Maimun al-Qurthubi (1204 M) mengkritik keras klaim Muslim terhadap tuduhan tentang penyembahan terhadap ‘Uzayr. Ia berkata “Mereka berbohong tentang kami, dengan mengkolerasikan pernyataan bahwa Tuhan memiliki Putra.”[10]

Kritik juga datang dari kalangan Orientalis modern seperti Prof. David Waynes, pakar studi Islam ia berasumsi bahwa klaim Qur’an tidak didukung oleh bukti sejarah sama sekali. Prof. John Kaltner menambahkan Identitas tentang ‘Uzayr tidak jelas, dan tidak terdapat keyakinan Yahudi di Madinah yang membawa gagasan tentang keputraan ‘Uzayr. Menurutnya, sangat mungkin tokoh ‘Uzayr diciptakan sebagai bentuk ketegangan politik komunitas Yahudi awal yang tidak menerima legistimasi Muhammad sebagai Nabi.[11]

Sering kali Sarjana Barat mengabaikan sumber-sumber klassik, kebanyakan orientalis barat terkesan tergesa-gesa membuat kesimpulan tanpa melakukan pembacaan terhadap literatur yang tepat. Minimnya akses terhadap sumber-sumber primer membuktikan lemahnya akademisi di dunia Barat.

Komentator muslim awal menyadari bahwa orang-orang Yahudi sejak awal mengklaim ‘Uzayr sebagai ‘anak Tuhan”. Ath-Thabari merekam fakta sejarah tentang klaim tokoh Yahudi bernama Pinhas ben ‘Azaryah yang menyebut otoritas ‘Uzayr sebagai putra Allah. Pada kesempatan lain, Finhash adalah tokoh dahulu yang mengeluarkan pernyataan “Sesungguhnya Allah miskin dan kami Kaya” (QS: Al-Imran Ayat 181). Sezaman dengan Eliazar dan Pinhas nenek moyang dari Imam Ezra (Ez 7:5). Asumsi umum figur ini dikenal luas melalui kronik sumber-sumber Samaria  tokoh ‘Uzayr secara meyakinkan terjadi di Madinah dengan pengakuan Ahli Kitab, pasca peristiwa peralihan Kiblat dari Yerusalem ke Makkah.

Salām ibn Mishkam, Nu‘mān ibn abī Awfá, Shā’s ibn Qays, dan Mālik ibn al-ayyif datang menemui Rasūl Allāh  dan berkata:”Bagaimana kami akan mengikuti engkau, padahal engkau telah meninggalkan kiblat kami dan tidak meyakini bahwa Uzair adalah anak Allah?” [12]

        Ungkapan ketinggian otoritas ‘Uzayr berawal dari pengakuan  individu dan didukung dengan klaim Ahli Kitab di Madinah, Ibn Hazm mengidentifikasikan sekte sesat tersebut bernama Saduqiyyah[13], tidak terdapat penjelasan lebih mendalam tentang ini. Kemungkinan berbeda dengan madzab Saduki yang terdiri dari aristokrat Yahudi yang berkembang pada abad pertama Masehi di Yerusalem. Ibn Asyūr (1879 M) berargumentasi seandainya gagasan tentang ‘Uzayr  bertolak belakang dengan Yudaisme, tentu kalangan Yahudi secara frontal menuduh Muhammad salah dalam memahami kasus teologis. Sikap diamnya komunitas Yahudi di Madinah tentu adalah tindakan sugestif. [14]

Al-Qurhubī menafsirkan frasa “wa qālatil-yahdu” menurutnya adalah lafazh yang menunjukkan ungkapan umum, namun secara khusus,  sebab tidak seluruh sekte Yahudi meyakini konsep keputraan ‘Uzayr. Contoh sederhana adalah lafadz “ allażīna qāla lahumun-nāsu” “Yaitu orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka orang-orang mengatakan” (QS: al-Imran Ayat 173) tidak mencakup ungkapan semua orang. Terkadang kata tertentu digunakan untuk menunjuk semua orang, tetapi makna yang dimaksudkan hanya berbicara terhadap kelompok tertentu saja. Ungkapan serupa digunakan oleh St. Paulus mengutip pernyataan Epimenides, Nabi Yunani ”Dasar orang Kreta pembohong, binatang buas, pelahap yang malas.” [15]

        Selain tuduhan memalsukan Tawrat. Dalam membahas ayat ini, mistikus dan filosof Ibn Arabī (1165 M) mengkritik Uzayr dari sisi teologis tentang keyakinannya terhadap ketetapan (Qadr), eksistensi hari kiamat, dan penghakiman orang mati.[16] Uzayr digambarkan lewat dialektika yang diajukan sebagai tokoh yang meragukan tentang dasar-dasar Iman, dan ingin mengetahui ketatapan takdir meninggalnya seseorang dan menentukan penghakimannya sendiri.[17]

    Ibn Hajar (1449 M) menyebutkan bahwa ungkapan “Kami menyembah ‘Uzayr’ adalah bermasalah. Menurutnya beberapa komunitas Yahudi diidentikan dengan hal ini, dan kebanyakan menyangkalnya. Secara sederhana, Ibn Hajar mengajukan argumen argumentatif merujuk terhadap komunitas tertentu. Eksistensi sekte pengkultusan ‘Uzayr ini menurut An- Nuqqāshy telah musnah. Dapat dipastikan bahwa orang-orang Yahudi yang dikatakan sebagai penyembah Ezra sebagai anak Tuhan hanya mewakili sekolompok kecil orang Yahudi, bukan pandangan umum.[18]

 

Rekontruksi Ulang Tawrah

        Berdasarkan tradisi Rabinnik, Mūsā adalah penulis Tawrah diatas loh batu dan disimpan kedalam Tabut (Kel 24:12, 25:21, 32:15), Peti ini senantiasa dibawa oleh Bangsa Yahudi dalam berperang, diyakini dapat membawa keberuntungan. Pasca wafatnya Raja Salomo ben David (Sulaymān bin Dāūd) pada tahun 992 SM, intergritas kerajaan mulai melemah dengan terpecahnya kerajaan Israel menjadi dua. Kerajaan Israel utara terdiri atas 10 Suku Yahudi dibawah kekuasaan Yerobeam dan di Selatan bernama Yehuda terdiri dari suku Benyamin dan Yehuda dibawah kekuasaan Rehabeam dengan ibu kota di Yerusalem.

       Eksistensi Tawrat berkaitan dengan kondisi politik, penyembahan politeisme secara masif dilakukan dan didukung oleh otoritas pemerintah, khususnya istri raja Ahab, Izebel. Dalam kuil-kuil peribadatan terdapat kegiatan ritual persundalan, Nabi Elia secara frontal mengkritik penyembahan berhala yang dicanangkan oleh pemerintah. Konflik yang berkepanjangan mempengaruhi stabilitas negara, hal ini dimanfaatkan oleh Nedbukadnezar pada tahun 583 M untuk menaklukan Kerajaan Israel Selatan, peristiwa ini  disertai penghancuran terhadapan kuil-kuil Yahudi dan Tabut. Kaum Yahudi kemudian digiring kedalam pengasingan, yang berpengaruh pada kemurnian ras Yahudi. Kontak dengan bangsa lokal, mengakibatkan asimilasi keturunan dan kepercayaan. Pudarnya semangat semitik membuat bangsa Yahudi melupakan bahasa asli mereka.

       Seiring waktu kondisi Babylonia melemah dan akhirnya runtuh pada tahun 539 M setelah penyerbuan Koresh Yang Agung, dan mengubahnya menjadi koloni Persia Akhemeniyyah. Koresh kemudian menplokramirkan dirinya sebagai pewaris sah dari kerajaan Babylonia Kuno. Dibawah pemerintahan Koresh, nasib bangsa Yahudi membaik dan di izinkan pulang ke Yerusalem. Ezra dilantik menjadi pemimpin dan membawa 1800 Yahudi melakukan exodus ke Tanah Perjanjian. Ezra mengeluarkan kebijakan suku Yahudi untuk tidak menikah dengan non Yahudi, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ras semitik. Pada masa ini Ezra juga menulis kembali Tawrat dengan menggunakan bahasa Asyiria. Dokumen Sanhedrin 21a menuliskan sebagai berikut:

Awalnya, Taurat diberikan kepada orang-orang Yahudi dalam aksara Ivrit, bentuk asli dari bahasa tertulis, dan bahasa suci, Ibrani. Kemudian diberikan kepada mereka lagi pada zaman Ezra dalam tulisan Ashurit dan bahasa Aram. Orang-orang Yahudi memilih aksara Ashurit dan lidah suci untuk gulungan Tawrat dan meninggalkan aksara Ivrit dan Bahasa Aram untuk rakyat jelata[19]

        Setelah sampai di Tanah Israel, Ezra kecewa dengan praktik ibadah saudara-saudaranya. Menurut Ezra rakyat Israel utara telah mengabaikan dan memanipulasi hukum leluhur mereka, Dia menyaksikan kaum Yahudi telah bebas menikah dengan non Yahudi. Ezra kemudian menolak pendekatan agama dan sosial dengan suku Yahudi Israel Utara dengan larangan berinteraksi, menganggap najis sentuhan fisik dan hubungan perkawinan. Kelompok ini kemudian terisolasi dan dikenal sebagai Samariyyun.

        Mazhab Samiriyyun (Samaritan) meyakini Pentateukh sebagai kitab suci. Pertentangan tentang entitas etnis masih eksis hingga hari ini, orang-orang Yahudi Haredi menganggap bahwa bangsa Samaria tidak memiliki darah Israel murni karena menikah dengan bangsa lokal, tuduhan sebaliknya juga diajukan oleh komunitas Samaria terhadap komunitas Yahudi Haredi.

        Rekontruksi ulang penyusunan tulisan Mūsā setelah pembuangan ke Babel oleh Ezra menawarkan perspektif berbeda dengan keyakinan Yahudi pada lazimnya, Ezra dianggap sebagai figur yang bertanggung jawab atas rusaknya Tawrat. Kemampuan Ezra dalam merestorasi ulang Tawrat huruf demi huruf patut dipertanyakan, dalam Pentateukh Teks Masoret dengan Pentateukh Samaria menunjukkan implikasi yang jauh lebih besar, terdapat 6.000 varian bacaan dan tata bahasa yang berbeda. Perbedaan ini mencakup posisi paling fundamental, yakni kiblat penyembahan. Pada Sefer ha'Devarim 27:4  Samaritan menuduh Ezra bertanggung jawab dalam penyelewengan lokasi Bait suci Musa dari גריזים “Gunung Gerizim” menjadi   עֵיבָ֑ל “Gunung Eāl”.[20] Konfrontasi ini dipertegas pada perisitiwa dalam pertemuan Al-Masih dengan wanita Samaria di sumur Yakub dalam Yohanes 4:20. [21]

Komentator Yahudi klassik seperti Rashi, dan Midrasim Tanchuma, Genesis Rabba, dan Exodus Raba secara eksplisit menerima bahwa teks ilahi mengalami perubahan, sebagai rasa penghormatan terhadap Tuhan, para Rabi menutup aib kitab sucinya. Konsep Tikkunei Soferim secara sederhana adalah koreksi oleh ahli-ahli Tawrat, mengacu setidaknya pada delapan belas bagian perubahan dalam Pentateukh Ibrani selama periode kuil kedua antara tahun 450 hingga 350 M. apologis Kristen awal, St. Justinus Martyr  (165 M) menyebutkan bahwa Ezra memiliki keterkaitan dengan hilangnya teks-teks Alkitab yang berhubungan dengan nubuat Kedatangan al-Masih dan beragam interpretasi penyimpangan lain dari kitab suci. Sumber non semit, seperti Porphyrus dari Tyre (301 M) dalam karyanya Adversus Cristianos mengkritik tesis Kristen berdasarkan eksistensi kitab suci yang hilang setelah peristiwa pembakaran naskah Tawrat beserta Sinagog Yahudi, menurut Porphyrus penyusunan kembali atas nama Mūsā ditulis secara tidak tepat. Menurut para ahli pendekatan yang dilakukan oleh Porphyrus adalah bentuk kritisme sebagaimana yang dilakukan oleh sarjana alkitab modern.[22]

Pandangan tradisional ini didukung oleh Mualaf  Yahudi, seperti Al-Samaw’al ibn Yayā al-Maghribī (1175 M) yang tegas mempertanyakan keoentetikan Tawrat dan Kitab sejarah Israel yang mengandung teks-teks negatif terhadap para Nabi [23]seperti Nū mengkonsumsi anggur dalam keadaan telanjang (Kej 9:20-25) Yehuda berzina dengan menantunya (Kej 38: 16-18) Lut diperkosa oleh kedua anaknya (Kej 19: 30-38) Imam Hārūn membuat patung sapi dan menyembahnya (Kel 23:5) Daud membunuh Uria dan memperkosa isterinya (II Sam 11:2-5) Sulaymān memiliki banyak selir dan melegalkan penyembahan berhala (I Raj 11:1-4). seabad sebelumnya Ibn azm (1064 M) dan al-Mas’udi (956 M) secara eksplisit menuduh Ezra sebagai tokoh Bid’ah yang menambah dan menyisipkan kedalam Alkitab.[24] Pandangan ini berbeda dengan penafsir Muslim awal yang menganggap bahwa Ezra adalah figur protagonis yang dibimbing oleh Ruh Kebenaran dengan jujur menyalin ulang Tawrat. Dalam tradisi Rabinik Ezra tidak hanya diposisikan sebagai juru tulis, tapi diyakini sebagai pembaharu Israel. Jasanya dalam merestorasi Tanakh dan pengaruhnya mengubah wajah Yahudi untuk kedepannya.  Rabi Jose dalam komentar Talmud memberi penghargaan serius dan figur yang dijunjung tinggi oleh kalangan Yahudi “seandainya Musa tidak mendahuluinya, Ezra akan layak menerima Tawrat untuk Israel.”[25]

Sejauh ini, literatur terkait Ezra menurut Gereja Reformis Barat, teks tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya, Revelation of Esdras dan Vision of Ezra diragukan keoentetikannya. Berbeda dengan Gereja Katolik Roma, Latin dan Timur, teks Revelation Esdras diterima secara luas sebagai Kanon Kitab Suci mengacu pada Septuaginta.[26]

 

Meninjau Ulang Tentang Status Ezra

Ungkapan “Ezra Anak Tuhan” dan beberapa gagasan yang serupa dengan pernyataan ini dapat ditemui dalam berbagai literatur. Hingga bagian ini, frasa ini dipahami dalam arti sebenarnya. Kemungkinan lain adalah ide metafora yang dikembangkan secara khusus oleh pemikiran Kristen yang telah terintergrasi dengan filsafat Yunani. Poin pentingnya adalah tentang konsep interpretasi malaikat.

Dalam sejarah, teologis Kristen sangat mempengaruhi banyak kepercayaan pagan. Interpretasi filosofis dan teologisnya dapat ditemukan dalam banyak kepercayaan dan displin ilmu lainnya. Khususnya, bermula integrasi filsafat Yunani dengan Kekristenan sejak abad ketiga berkontribusi pada kondisi intektual dan kesusastraan Kristen dan ritual ibadah.

        Sekte al-Dustāniyyah (Dosithean) memiliki gagasan berbeda dengan kalangan Samaria pada umumnya, Shaharastānī mencatat bahwa sekte ini berkembang pesat dilokasi yang terisolasi seperti di pegunungan Bait al-Maqdis, dan tinggal di desa-desa Mesir.[27] Dapat dipastikan sekte Dustan Samaria menganggap Ezra adalah anak Allah, kontroversinya adalah apakah gelar “anak” digunakan untuk mendefisikan arti yang sesungguhnya seperti yang dikaitkan Al-Qur'ān pada Yesus atau untuk menunjukkan makna metamorfosis dalam literatur Kristen. Dapat diasumsikan bahwa sekte Samaria Dustan dipengaruhi oleh teologis Kristen yang terintergrasi dengan filsafat Yunani seperti metafora Malaikat atau Mesianik yang telah punah. Menurut Newbey komunitas Yahudi di Arab terlibat dalam spekulasi mistik serta terkontaminasi dengan paham antromorfisme dan pemujaan terhadap malaikat yang menggeser posisi Tuhan,  menurut Prof. Moshe Idol jauh sebelum munculnya literatur esoterik Ashkenazi dalam memahami hipotasis dengan pemahaman nasionalis tentang keputraan, beberapa komunitas Yahudi memiliki beragam konsep atau bahkan mempraktikan pemujaan berkaitan sosok yang diilustrasikan sebagai anak Allah. Kemudian Prof. Moshe Idol mempertanyakan tentang refrensi apakah keputraan ini mencerminkan situasi sejarah yang lebih luas, setidaknya terdapat banyak literatur yang cukup musykil, dan banyak belum dianalisis dari sudut pandang konseptual disini Al-Qur'ān dapat dijadikan sebagai jembatan potensial sejarah.[28]

       Meskipun tidak terdapat informasi dari dokumen eksternal tentang keyakinan komunitas Yahudi di Madinah pada masa Muammad. Kesimpulan dari Francis Erward Peters adalah Al-Qur'ān haruslah diposisikan sebagai sumber sejarah yang dimiliki tentang kontruksi dan bentuk keyakinan komunitas Yahudi pada abad ketujuh sehingga jika mengacu pada dokumen Islam awal problematika tentang keputraan ‘Uzayr terjawab tuntas. Hingga saat ini, dua sekte Yahudi tersebut dicurigai sebagai komunitas yang menyembah Uzayr sebagai anak Tuhan.  Kelompok Dustaniyyah sebagai sekte sempalan Samaria atau Saduki yang berkembang di Yaman. Rabi Yahudi, Fireston mengungkapkan:

Meskipun jelas bahwa Yudaisme sebagai peradaban agama tidak menerima pandangan bahwa Tuhan memiliki pasangan atau anak, ada kemungkinan bahwa beberapa kelompok pinggiran mendorong batas kepercayaan yang dapat diterima dengan sosok penting Ezra. Dua buku kuno dan asli Yahudi, misalnya, mengaitkan status hampir ilahi atau malaikat dengan tokoh alkitabiah Ezra dan Henokh. Ini adalah 4 Ezra, juga dikenal sebagai 2 Esdras 14:9, 50 dan 2 Henokh 22:11. Meskipun disusun oleh orang Yahudi, kedua kitab ini ditolak oleh Yudaisme dan tidak menjadi bagian dari literatur kanoniknya. Namun, karena kesejajarannya dengan kepercayaan Kristen, beberapa kelompok Kristen mengadopsi dan melestarikannya. Tampak seolah-olah beberapa anggota sekte Yahudi yang menganut kepercayaan ini tinggal di Madinah pada masa Nabi dan mengungkapkan pandangan seperti itu.[29]

        Ketidakonsisten kalangan Orientalis seperti Faith Freedom mempertanyakan eksistensi pengkultusan terhadap ‘Uzayr, disaat yang sama justru menyebutkan keterpengaruhan Muhammad terhadap pandangan sekte Samaria. Argumen yang dibangun oleh orientalis berada pada puing-puing rapuh, dan menyalahi kaidah “The Self Contradiction Fallacy” dengan pernyataan yang pada akhirnya tidak memiliki kesimpulan yang koheren.

         Penisbatan Uzair sebagai putra Allah oleh kalangan Yahudi respon pada persitiwa yang faktual dan diberikan oleh Al-Qur'ān. Tentu informasi ini tidak dapat diabaikan, mengingat sumber-sumber lokal sejenis folklore, kronik dan tradisi lisan merupakan hal penting dalam membangun bangunan sejarah. Terdapat beragam Informasi Al-Qur'ān yang menjelaskan konsep teologis Yahudi memiliki keakuratan, seperti Patriakh Abraham (’Ibrāhīm) akan menyelamatkan komunitas Yahudi dari neraka dengan waktu relatif sebentar terkonfimasi dalam Talmud Babylonia, Kejisiman Tangan Tuhan, dan konsep Istawa Yudaisme. Pengkultusan terhadap tokoh Ezra dan Henokh dengan asumsi sebagai Fallen Angels (malaikat Tuhan) sangat umum dikenal di Irak. Berdasarkan informasi ini, dapat dikatakan bahwa komunitas Yahudi yang menyembah Uzayr sebagai anak Tuhan hanya mewakili sekelompok Yahudi.

Oleh: Muhammad Rizky Nur Hidayat

[1] The Jewish Political Tradition (Yale University Press:2000) Vol. 3, 264.

[2] Gerrit Cornelis van Niftrik, Dogmatika Masa Kini (BPK Gunung Mulia: 1979), hal. 94.

[3] Ibnu Katsīr, al-Bidāyah wan-Nihāyah (Dār Kutub al- ʿIlmiyyah: Beirūt, 1436 H), Vol 1, 48

[4] Moshe Perlmann, Samau'al al-Maghribī Ifḥām Al-Yahūd: Silencing the Jews (American Academy for Jewish Research: New York, 1964), 60.

[5] Dr. William Smith’s, Dictionary of the Bible: Comprising its Antiquities, Biography, and Natural History (University of Harvard: 1872), 202.

[6] Beberapa literatur Islam berbeda pendapat tentang status kenabian Ezra, dapat dipastikan hal ini mengadopsi sumber-sumber Bapa Gereja Awal St. Klement dari Alexandria (211 M) mengutip bagian 4 Edras 5.35 “Esdras sang Nabi”. Sedangkan St. Ephiphanius dari Salamis  (403 M) tidak menyebut Ezra sebagai Nabi. Pada abad ke -5 M, dokumen Kristen membedakan figur Ezra Imam Babylonia dengan Ezra yang lain.

[7] Mun’im Sirry, Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions (Oxford University Press, 2014), 48.

[8] Gabriele Boccaccini, Enoch and the Messiah Son of Man: Revisting the book of Parables (Eerdmans Publishing Company: 2007), 495.

[9] Ricard Bauckham, James Davila, Alex Panayotov, Old Testament Pseudepigrapha (Eerdmans Publishing Company: 2013), xxix.

[10] Marc Schneier, Son of Abraham: A Candid Conversation about the Issues that Divide and Unite Jews and Muslims (Beacon Press: Boston, 2015), 102.

[11] John Kalter, Younus Mirza, The Bible and Qur’an: Biblical Figures in the Islamic State Tradition (Bloomsbury Publishing, 2018), 13.

[12] Ibn Jarīr aṭ-Ṭhabarī, Jāmi' al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`ān (Beirut: Dār Kutub al- ʿIlmiyyah, 2013), Vol. 6,  350

[13] Ibnu Ḥazm Al-Andalusī, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ' wa an-Nihal (Dār Kutub al- ʿIlmiyyah: Beirūt, 1428 H) Vol 1, 118

[14] Ibn Asyūr, Tafsir Al-Tahrīr wa al- Tanwīr (Dār al-Tunisiyyah: Kairo, 1984), 

[15] Tidak dapat dikatakan bahwa semua masyarakat Kreta adalah pembohong. Seandainya paradoks Epimenides dipahami demikian, maka hal ini termasuk dalam logical Fallacy pada kaidah Hasty Generalization.

[16] Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition (University of Congress South Carolina Press: Columbia, 2014)

[17] Hal ini dikonfirmasi Teks Yahudi, Buku 4 Ezra menuliskan perihal yang sama.

[18] Qurthubi, Al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān wa al Mubayyin limā Tadlammanah min al-Sunnah wa Āy al-Furqan, (Muasasah ar-Risalah: Beirut, 1437), Vol. 11, 173

[19] Talmud Bably: Sanhedrin (Eckhardt: 1843), Vol 13, 43

[20] Reinhard Pummer, The Samaritan in Flavius Josephus (Mohr Siebeck: Tübingen, 2009), 273.

[21] Polemik beragam salinan Tawrat yang berbeda mendapat momentum dalam dokumen Islam. Ibn Abi al-Hasan al-Samiri al-Danafi (1355 M) mencatat peristiwa tentang diskusi Sanbalat, Gubernur Samaria dan Zarubabel, Gubernur Yehud dihadapan raja Persia tentang lokasi pembangunan kuil. Untuk membuktikan kebenaran dua versi Tawrat, teks Yahudi dan teks Samaria dibuang diatas api yang menyala-nyala. Salinan Tawrat Samaria tidak terbakar. Narasi ini menyimpulkan bahwa Tawrat yang dimiliki kalangan Samaria adalah otoritatif dari Tuhan.

[22] Lena-Sofia Tiemeyer, Ezra-Nehemia: An Introdoction and Study Guide (Bloomsbury Publishing: London, 2017), 108

[23] Moshe Perlmann, Samau'al al-Maghribī Ifḥām Al-Yahūd: Silencing the Jews (American Academy for Jewish Research: New York, 1964), 60.

[24] Mònica Colominas Aparicio, The Religion Polemics of the Muslims of Late Medieval Cristianity (Brill: Leiden, 2018), 148.

[25] New Edition of the Babylonian Talmud (Talmud Society: 1918) Vol 8, 59

[26] ketiga kitab Ezra diyakini sebagai dokumen paralel  hingga dimasa Hironimus dan dikategorikan kanonik. Selain itu, Teks ini juga dimuat oleh St. Jerome dalam Vulgata.

[27] Abd al-Karīm al-Shaharastānī, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: 1434 H), 243.

[28] Meir M. Bar-Asher, Jews and the Qur’an (Prenciton University Press: New Jersey, 2021), 45.

[29] Reuven Fireston, Children of Abraham: An Introduction to Judaism for Muslim (KTAV Publishing House: 2001), 35

Posting Komentar untuk "Identifikasi Identitas ‘Uzayr dalam Al-Qur'ān"