Eksistensi Non Muslim Di Negara Islam




Wacana penegakan negara Islam sering kali mendapat respon negatif, isu yang berkembang adalah negara Islam dipahami sebagai sistem yang menganut kerakyatan yang tunggal, yaitu penyeragam agama, pada akhirnya non Muslim akan menjadi warga kelas dua, disamping mendapat tekanan untuk berpindah agama. Akibatnya, Formulasi syariat Islam dianggap berkonfrontasi dengan keragaman dan kebinekaan.

Beragam narasi kebencian adalah bentuk kesalahpahaman atas konsepsi daulah Islam. Realitasnya dalam sejarah, Negara Islam memiliki masyarakat yang hetregon dari beragam etnis dan agama, Islam memberikan jaminan istimewa kepada minoritas. Tidak terdapat tindakan menelantarkan dan mendiskriminasi, Eksistensi Non Muslim tidak hanya digambarkan memiliki kebebasan dan kesejahteraan, namun juga ikut serta dalam institusi pemerintahan dan penelitian yang menjadi sumbangsih Kekhalifahan menuju zaman keemasan.

Penelitian terdahulu tentang konsep negara Islam sering dibahas salah satunya dari penelitian Al-Mawardi, Akham al-Sultaniyyah (2016), berdasarkan penelitian yang dilakukannya, al-Mawardi mendapati bahwa politik ketatanegaraan termasuk hal fundamental dalam Islam, Allah menggariskan umat untuk memiliki pemimpin sebagai pengganti dari fungsi kenabian, mengatur urusan agama dan memegang kendali politik berlandaskan syariat Islam dibawah negara tunggal. Temuan serupa ditegaskan dari hasil beberapa penelitian diantaranya adalah Wabah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu (2011) H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (1980), Hasil temuan diatas dipertegas dengan penelitian Yusuf Qardhawi, Ghairul Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islam (1997). Menurut Qardawi kalangan orientalis dan liberal berupaya menframing Islam sebagai agama kekerasan. Negara Islam cenderung melakukan ekspansi dengan pedang, dibawah pemerintah totaliter Islam kelompok minoritas mendapat perlakuan diskriminasi. Al-Qardawi dalam temuanya, menyajikan literatur fikih klasik tentang hak-hak Alh Dzimmah dan jaminan pelaksanaannya.

Berbeda dari studi terdahulu yang sebelumnya lebih berfokus pada kajian konsep dan struktur negara Islam dalam membahas hak dan kewajiban warga negara Islam dan non muslim secara umum, penelitian ini mengambil dari sudut pandang spesifik, yakni fokus terhadap kajian tentang eksistensi non Muslim dalam negara Islam dan berbagai hak kewarganegaraan yang didapatkannya, secara historis penelitian tentang non muslim melalui perspektif Islam penting untuk dikaji. Mengingat, dinamika satu dekade akhir ini, umat Islam memiliki tantangan untuk menjawab beragam tuduhan yang mendiskreditkan Islam dan dikaitkan dengan pemahaman intoleran. Untuk meresponnya, tidak ada cara lain untuk menjawab berbagai persoalan kecuali dengan memaksimalkan kajian terhadap literatur-literatur yang ada. Kajian ini tidak bersifat teoritis yang tertulis dalam literatur fiqih, kajian ini menitik tekankan pada eksistensi non muslim dalam negara Islam berdasarkan kajian historis. Konfirmasi data terhadap teks-teks bangsa yang ditaklukan. Penelitian ini menggunakan metodologi studi kepustakaan dengan mempergunakan jenis penelitian kualitatif.

Pembahasan.


1. Populasi Majemuk Dalam Negara Islam

Interaksi antara muslim dan non muslim telah terjadi sejak awal berdiri Negara Islam. Konstitusi pertama Islam dalam Piagam Madinah mewakili bentuk masyarakat heterogen, terdapat komunitas Yahudi, Kristen, dan Pagan. Ibn Ishaq mencatat kesepakatan ini dibuat dengan melibatkan 13 suku berbeda, diantaranya 1.) Islam dari Quraisy 2) Islam dari Yastrib 3) Yahudi dari Suku Aus 4) Yahudi dari Suku Sa’idah 5) Yahudi dari Suku Harits 6) Yahudi dari Jusyam 7) Yahudi dari suku Tsalabah 8) Yahudi dari suku Jafnah 9) suku Sutaybah 10) Yahudi dari suku Aus 11) Yahudi dari suku Auf 12) suku Nabit 13) Yahudi dari suku Najar. Secara keseluruhan konstitusi ini memuat tentang asas toleransi, kewenangan warga negara dan implementasi untuk mencapai tujuan konstitusi. Negara dituntut untuk menjaga dan melindungi seluruh keyakinan, harta benda, kehormatan, akal dan kehidupan. Setiap warga negara Dar Islam memiliki hak dan kewajiban setara dimata hukum, struktur beragam ini mendapat pengakuan dari Muhammad.

Jalinan kerukunan beragama di Madinah sangat dominan, sikap toleransi pasif tumbuh dari kesadaran individual tanpa intervensi pihak manapun, dengan membiarkan aktivitas ibadah dapat diekspresikan oleh semua pihak. Bentuk implementasi pasif adalah Negara Islam melegalkan fasilitas Baitul Midras di Yatsrib yang berfungsi sebagai studi pelajar Yahudi dalam mempelajari tradisi Ibrani dan Torah disamping digunakan menjadi tempat ritual ibadah. Muhammad SAW juga memberikan kewenangan kepada komunitas Yahudi untuk mengimplementasikan hukum Musa dalam perkara Pidana seperti rajam dan qisash. Dalam berbagai bidang, Negara Islam mengembangkan ekonomi, sosial dan politik secara bersama-sama. Komitmen menjaga kelangsungan piagam tersebut tetap dipertahankan oleh sebagian kalangan komunitas Yahudi, Mukhairiq dari suku Qainuqa’ banyak memberikan suport moril dan materil kepada Islam. Mukhairiq menjadi martir setelah ikut serta dalam pasukan Islam dalam perang Uhud.

Setelah Nabi Muhammad wafat, kepemimpinan bergulir kepada Khalifah Islam yang memiliki otoritas dalam mengatur kewenangan politik dan menjaga agama. Kekhalifahan Arab secara mengejutkan hadir ditengah dua imperium raksasa besar, Majusi Persia dan Kristen Byzantium. Bangsa Arab dan kaum Badui pedalaman, tinggal dipadang gurun yang tidak diperhitungkan, menjelma menjadi pasukan besar yang menaklukan Afrika, Suriah dan Mesir. Selanjutnya, Kekhalifahan Ummayah meneruskan ekspansi militer ke wilayah Transoxiana, India, Maroko, dan Semanjung Iberia (Spanyol). Pada puncak keemasannya, Kekhalifahan Ummayah memiliki luas 11, 100, 000 km dengan populasi masyarakat sekitar 33 juta. Bani Ummayah mengatur masyarakat yang multikultural dan multietnis. Populasi tertinggi, adalah penganut agama Kristen. Tidak jatuh dari Kekhalifahan Ottoman, dengan populasi sekitar 35.350.000 pada tahun 1883. Demografi diatas mencakup kepadatan penduduk, etnis, dan agama. Terdapat beragam etnis yang hidup di negeri Khilafah, mencakup etnis Kurdi, Arab, Turki, Armenia, Yunani, Slavia, Albania, Rusia, Afrika dan lain-lain. Keberagaman ini di apresiasi oleh Lucy Mary Jane Garnett “Tidak ada negara didunia yang memiliki populasi yang begitu heterogen seperti Turki (Ustmani)”

a. Hak Beragama Dan Jaminan Kelangsungan Hidup

Dalam literatur fiqih, dzimmi memiliki hak istimewa dalam struktur Negara Islam. Minoritas, diberikan kebebasan menjalankan agama tanpa intervensi dari pemerintah. Negara Islam tidak berhak melarang serta memaksa non muslim untuk berpindah keyakinan. Umar ibn Khattab berhasil menaklukan kota-kota Persia dengan jalur militer dan membuat tatanan pemerintahan, keadilan Islam dalam memperlakukan wilayah taklukan non muslim dengan bijak, dikenal luas dibelahan dunia.

April 637 M, Santo. Sophronius sebagai Patriakh Yerusalem mengundang Umar ibn Khattab untuk datang ke Yerusalem, St. Sofrnoius terkagum dengan kesederhanaan Umar yang datang mengenakan pakaian sederhana dan menggunakan satu keledai yang ditunggangi secara berganti dengan pelayannya, tidak terdapat tanda-tanda kemewahan pada raja Arab. St Sofronius memberikan Yerusalem dan kunci gereja makam Kudus dengan Sukarela kepada Umar bin Khattab tanpa terjadinya pertumpahan darah dan menjadikan kiblat komunitas Salib dan Yahudi berada dalam naungan Daulah Islam dengan membayar rutin jizyah. Latar belakang penyerahan Yerusalem bukan tanpa alasan, Simon Monte Montefiore menyebutkan bahwa “orang-orang Kristen Monosifit, yang mayoritas penduduk palestina, membenci orang-orang Byzantium dan tampaknya para pemeluk Islam awal itu senang memberikan kebebasan beribadah kepada sesama penganut monoteisme itu.”

b. Hak Ekonomi

Tidak terbatas pada jaminan kebebasan beragama, Islam juga mengatur non Muslim dari berbagai urusan ekonomi, Khalifah dituntut untuk memenuhi kebutuhan warga negara dari aspek kebutuhan sekunder dan primer. Baitul Mall merupakan hak warga semua negara Kekhalifahan, tak terkecuali Non Muslim. Kelompok minoritas dapat menikmati kas negara dan asuransi hidup ketika mereka tidak mampu membayar hutang, miskin dan tua renta. Kelompok minoritas juga dilegalkan membangun industri dan bisnis perdagangan di Kekhalifahan Islam, tidak ada larangan non Muslim untuk memiliki aset tanah. Syariat Islam juga menjamin pemeliharaan aset kekayaan kelompok minoritas, terdapat undang-undang yang mengatur larangan mengambil atau mencuri harta milik non Muslim. Dalam mengimplementasikan penjagaan harta non Muslim, Umar bin Khattab menghancurkan masjid yang dibangun oleh Amr bin Ash diatas tanah milik orang Yahudi.

c. Hak Pendidikan

Tidak dapat dipungkiri, tolak ukur kesejahteraan negara dapat dilihat dari segi kualitas pendidikannya. Setiap individu berhak memperoleh pendidikan dalam negara Islam, Khalifah menjamin warga negaranya baik muslim maupun non muslim untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kekhalifahan Islam sejak abad 4 H, telah mendirikan universitas Islam dan memberikan fasilitas dari beragam sarana dan prasarana berupa perpustakaan, pada setiap universitas Islam dilengkapi oleh auditorium, asrama mahasiswa, perumahan pengajar. Selain itu, terdapat taman, pemandian, rumah sakit yang siaga merawat mahasiswa. Universitas yang popular adalah Madrasah Nizhamiyah, dan al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Nashiriyah di Kairo, dan Madrasah al-Nuriyah di Damaskus. Kampus yang berada di Negara Islam. Kemewahan dan kemajuan pendidikan negara Islam dikenal luas di seluruh dunia, banyak dari pelajar Eropa, India, dan negeri-negeri lainnya belajar menuntut ilmu di Negri Khilafah. Pemuda Kristen bernama Gerbert d'Aurillac (945 M) mempelajari beragam ilmu di Kekhalifahan Andalusia, Paus Sylvester II

d. Hak Biokrasi

Tidak layak sebuah negara disebut ideal, jika tidak dibangun diatas pondasi keridhaan rakyat atas pemimpinnya. Sebagai warga negara, non Muslim memiliki derajat yang sama dengan umat Islam, tak terkecuali dalam urusan penyampaian pendapat. Warga negara Khilafah bersama-sama membangun kesejahteraan.

Al-Mawardi melegalkan non Muslim untuk memangku jabatan mentri pelaksana (wazir tanfidz) bertugas untuk mengevaluasi Khalifah yang melakukan penyimpangan. Al-Mawardi membatasi non muslim pada institusi-institusi yang berhubungan dengan keagamaan dan militer.84

Pada masa Bani Ummayah, jabatan kepala administrasi negara dipimpin oleh Biarawan Gereja Ortodox, yaitu Yuhana Al-Dimasqy. St. Yuhana berperan penting dalam kemajuan pembendaharaan Baitul Mall. karyanya memiliki kontribusi dalam ilmu hukum, filosofi dan teologi. Disamping penguasaannya terhadap beragam jenis bidang pengetahuan, Yuhana secara aktif menulis buku bernada negarif terhadap Islam, karyanya berjudul De Haeresibus sebagai bentuk pembelaan Iman Kristiani sekaligus sebagai respon atas argumentasi para teolog Muslim awal, Hal ini diwariskan kepada muridnya Teodorus Abu Qurra.

Kritik terhadap teologis Islam juga muncul dari tulisan Musa bin Maimun, ia dikenal sebagai filsuf Yahudi Separdim dan menjadi sarjana Taurat paling produktif di Abad Pertengahan. dalam Igrot Harambam, Dia menafsirkan penunggang unta dalam kitab Yesaya 21:7 adalah seseorang ha-Meshuggah ( Ibrani : מְשֻׁגָּע , " Orang Gila" merujuk pada Muhammad, Raja Arab. Musa bin Maimun berprofesi sebagai dokter pribadi Saladin. Para Khalifah tidak pernah mendengar Al-Mawardi non muslim dapat menjabat sebagai wazir al-Tanfis


Catatan:

Konsep minoritas tidak ditemukan dalam Islam. Istilah minoritas memiliki konklusi logis terdapat kelompok yang lebih dominan, hal ini tidak terdapat dalam negara Islam. Dzimmi adalah sebutan untuk non muslim yang mendapat jaminan keamanan tinggal di negara Islam.

A Genneral History of The Catothic Cruch, Joseph Épiphane Darras (P. O’Shea Press: New York, 1865), Vol II, 203.

Jerusalem The Biography, Simon Sebag Montefiore (Pustaka Alvabet: Jakarta, 2012), 222.

Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir (Pustaka Al-Azzam: Jakarta,) Vol 10, 475.

Tarbiyatul Shahabah, Muhammad Yusuf bin Abdurahman (Diva Press: ), 214

Turkey of the Ottomans, Lucy Mary Garnett (G. P. Putnam’s Sons: 1915), 1

Ahkam al-Sultaniyyah, Abu Yala’ (Dar Kutub Ilmiyyah:Lebanon, 1999), 1999.


oleh : Muhammad Rizky Nur Hidayat








Posting Komentar untuk "Eksistensi Non Muslim Di Negara Islam"