Pemikiran Ustad Idrus Ramli dalam Menyikapi Bid’ah di Indonesia

 


Pembahasan mengenai bid’ah mestinya sudah kita selesaikan sejak berabad-abad yang lalu hingga kita (umat Islam) lebih konsentrasi pada isu-isu kekinian yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Namun walau demikian, isu bidah masih sensitif di tengah-tengah umat Islam saat ini.

Soal bid’ah masih ada relevansinya, terutama karena geliat gerakan Islam trans-nasional (atau Islam puritan) yang cenderung "mem-bid’ah-kan" perilaku ritual Islam lokal yang banyak dilakukan oleh kaum muslim di Indonesia. Bidah saat ini, menjadi semacam “bola liar” yang bisa ditendang oleh siapa saja dan menabrak siapa saja. Sialnya, dalam hal ini semangat melontarkan tuduhan bid’ah didorong oleh makna “sesat” yang terkandung di dalamnya (bidah adalah kesesatan dan kesesatan tempatnya di neraka) begitulah makna hadits yang sebagian kelompok pahami.

Mengenai hal ini, seorang tokoh NU Jember yakni Ustad Idrus Ramli memberikan pemahaman mengenai bid’ah yang ada di Indonesia. Beliau memberikan pemahaman dan pemikiranya melalui sebuah karya, berupa buku dan artikel-artikel keaswajaan. Dalam sebagian bukunya, beliau menjelaskan mengenai bid’ah yang ada di Indonesia dengan mencantumkan refrensi-refrensi yang ada dalam kitab salaf.

Dalam buku berdebat dengan wahabi, beliau mengungkapkan bahwa persoalan bid’ah adalah persoalan yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan. Hal ini karena banyak inovasi amaliah kaum muslim yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minioritas islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam.[2] Akhirnya kontrovensi persoalan bid’ah selalu aktual untuk dikaji dan dibicarakan.

Khilafiyah tentang pembagian bid’ah itu dibagi menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Dalam beberapa hadits yang menunjukan bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin.[3] Namun walau demikian, kelompok yang anti dengan bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah membicarakannya.

Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar pada bulan Juli 2010.[4] Ustad Idrus Ramli terlibat dalam dialog yang cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara tersebut, Ustad Idrus Ramli menjelaskan bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.[5] Merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah SAW yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).[6] Karena meskipun Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ جَابِرْ بنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ خَيْرَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الهُدَي هُدَي مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاَتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah bersabda “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.”[7]

            Teryata Rasulullah SAW juga bersabda :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

”Siapa yang membiasakan kebiasaan baru yang baik dalam Islam, kemudian dikerjakan orang lain setelahnya, maka baginya pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Siapa yang membiasakan kebiasaan buruk dalam Islam, kemudian orang lain setelahnya juga mengerjakannya, maka atasnya dosa orang yang melakukannya juga tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka.”[8]

            Dalam hadits pertama Rasulullah SAW menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua Rasulullah menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dari pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya.[9] Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain.[10] Karena dalam hadits kedua, Nabi menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik, maksudnya baik perbuatan tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah ada pada masa Nabi SAW.[11] Dalam sebagian hadits Rasulullah SAW seringkali memberikan legitimasinya terhadap amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Seperti halnya Pengkhususan Bilal terhadap waktu tertentu untuk mengerjakan shalat sunah tanpa adanya petunjuk dari Rasulullah SAW.

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ  قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ.

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.[12]

Hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi pun membenarkannya. Nabi belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi. Ternyata Nabi  membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat.

Sebagaimana dalam hal shalat tarawih. Pada masa Rasulullah, shalat Qiyamu Ramadhan secara berjamaah hanya dilakukan beberapa hari saja. Selebihnya Rasulullah tidak melakukannya berjamaah dan tidak pula menyarankannya untuk dilakukan berjamaah selama sebulan penuh. Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, para sahabat shalat sendiri-sendiri dan waktu pelaksanaannya juga tidak tertentu di awal malam. Setelah kepemimpinan Umar, maka beliau berinisiatif untuk mengumpulkan para sahabat untuk shalat dengan berjamaah. Akhirnya para sahabat pun salat Qiyamu Ramadlan dengan diimami oleh Sahabat Ubai bin Ka’ab. Mengomentari peristiwa ini, Khalifah Umar berkata:

نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ.

Bid‘ah paling baik  adalah ini dan orang yang tidur setelah mengerjakannya lebih baik dari pada orang yang bangun untuk salat [di akhir malam].[13]

Khalifah Umar secara jelas menyebut peristiwa tarawih secara berjamaah itu sebagai bid‘ah, namun bid‘ah yang baik. Beliau pun menyarankan agar salat Tarawih itu dikerjakan di awal malam dan dilakukan setiap hari. Saran ini tentu juga bid‘ah tersendiri. Jumlah rakaatnya yang sebanyak 20 rakaat itu juga tidak ada dalam satu pun hadis sahih sehingga Imam al-Hafidz al-Qasthallani (923 H.) menyebut hal-hal tersebut juga sebagai bid‘ah.[14] Tentu saja pandangan bahwa salat tarawih berjamaah adalah bid‘ah disebabkan karena Khalifah Umar memahami bid‘ah dari sudut pandang kebahasaan.

Dengan adanya hadits shahih dan perilaku sahabat, Secara garis besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua; yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Dalam hal ini, Imam Mujtahid Muhammad ibn Idris  asy-Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua, yakni hal baru yang selaras dengan dalil syariat, yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan hal baru yang bertentangan dengan dalil syariat, yaitu bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk), Seperti dikutip oleh imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, ia berkata:

قَالَ الشَّافِعِيُّ الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ مَحْمُودَةٌ وَمَذْمُومَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومٌ ... وَجَاءَ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبِهِ قَالَ الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ مَا أُحْدِثُ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلَالِ وَمَا أُحْدِثُ مِنَ الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ انْتَهَى.

‘’Imam Syafi’i berkata: “Bid‘ah itu ada dua macam, yakni yang terpuji dan yang tercela. Maka apapun yang cocok dengan sunnah, maka itu adalah terpuji. Dan apapun yang menyelisihi sunnah, maka tercela”. ... dan juga berasal dari Imam Syafi’i riwayat al-Baihaqi dalam kitab Manaqib-nya bahwa Imam Syafi’i berkata: “Hal baru itu ada dua macam; hal baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, atsar dan ijmak, maka ini adalah bid‘ah yang tersesat. Adapun hal baru yang berupa kebaikan yang tidak bertentangan sedikit pun dengan semua itu, maka ini adalah hal baru yang tidak tercela.”[15]

            Oleh karena itu, pemikiran dan pemahaman yang diungkapkan oleh Ustad Idrus Ramli dalam masalah bid’ah yang ada di Indonesia, berdasar pada hadits shahih, perilaku sahabat dan pendapat mayoritas ulama. Karena itu beliau dan mayoritas ulama mengungkapkan bahwa bid’ah dibagi menjadi dua yakni bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.

Oleh : Muhammad Iqbal Ramadhan



[2] Muhammad Idrus Ramli, Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi (Jember: Bina Aswaja, 2010), 35.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid., 36.

[6] Ibid.

[7] Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar ihya thurats),juz.2 hal.592.

[8] Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar ihya thurats),juz.4 hal.2059.

[9] Muhammad Idrus Ramli, Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi (Jember: Bina Aswaja, 2010), 37.

[10] Ibid.

[11] Ibid

[12] Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar thawaq an-Najah, 1422 H),juz.2 hal.53.

[13] Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar thawaq an-Najah, 1422 H),juz.3 hal.45

[14] Al-Qasthalani, Irsyad al-Sari Lisyarhi al-Bukhari, (Mesir: Mathba’ah Kubraal-Amiriyah, 1323 H.), juz.3 hal.426.

[15] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh  Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H.), juz.13 hal.253.





Posting Komentar untuk "Pemikiran Ustad Idrus Ramli dalam Menyikapi Bid’ah di Indonesia"