Kiranya perlu kita tolak keras jargon golongan
sebelah yang berbunyi “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN”. Pasalnya realita yang muncul
didalam al-qu’an tidak semerta-merta langsung bisa dipahami dengan sebatas
memandang lafadz per lafadznya, apalagi dengan hanya membaca terjemahannya.
Banyak perangkat ilmu lain yang harus terlebih dahulu dipahami untuk bisa
memahami al-qur’an dengan benar. Pendekatan paling sederahana dalam memahami
al-qur’an adalah dengan memahami ilmu nahwu dan sharaf. Karena kedua ilmu ini
membahas tata Bahasa Arab yang notabenenya adalah bahasa al-qur’an.
Mengesampingkan ilmu nahwu dan sharaf dalam
rangka memahami al-qur’an merupakan kesalahan yang fatal. Karena banyak sekali
ditemukan contoh dalam al-qur’an yang tidak bisa diketahui maknanya tanpa
melewati pintu masuk berupa ilmu nahwu dan sharaf. Semakin banyak teori nahwu
dan sharaf yang dikuasai oleh seseorang maka akan semakin matang pula
pertimbangannya dalam menguak makna dari teks al-qur’an. Hal ini juga berlaku
sebaliknya, semakin sedikit teori yang dimiliki seseorang maka akan semakin
dangkal tingkat analisisnya terhadap teks al-qur’an.
Didalam al-qur’an banyak ditemukan lafadz yang
penampakan dzahirnya tidak menentukan status sebenaranya dari lafadz tersebut.
Sebagai contohnya dalam surat al-kahfi ayat 26
قُلِ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوْا ۚ لَهٗ غَيْبُ
السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْۗ مَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ
مِنْ وَّلِيٍّۗ وَلَا يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهٖٓ اَحَدًا
Katakanlah, “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).
Milik-Nya semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang
penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. Tidak ada seorang pelindung
pun bagi mereka selain Dia dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi
sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.
Poin yang harus
digarisbawahi sebagai contoh dzahir lafadz tidak menentukan status sebenarnya
dalam ayat tersebut adalah pada lafadz اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْ . Bagi seseorang yang kurang membaca teori nahwu dan sharaf pasti ia akan
menganggap kedua lafadz ini adalah fiil amar. Memang kesimpulan mereka
sangat didukung dengan dzahir lafadnya. Tetapi apakah memang benar kedua lafadz
tersebut adlah fiil amar menimbang arti yang tidak cocok ketika dianggap
sebagai fiil amar?. Sedangkan bagi seseorang yang banyak menguasai teori
ilmu nahwu dan sharaf, ia tidak akan gegebah dalam menghukumi sebuah status kalimah.
Ia akan berpikir dua kali untuk kemudian berani menentukan status kalimahnya.
Memang, secara
dhahir, lafadz اَبْصِرْ dan اَسْمِعْ adalah fiil amar. Namun, setelah
ditelusuri lebih dalam lagi kedua lafadz tersebut adalah bentuk wazan taajub
(ungkapan kekaguman). Terdapat dua pembagian tentang konsep taajub;
secara qiyasi dan sama’i. Sesuai namanya untuk pembagian taajub
yang secara qiyasi kita dapat membuat ungkapan kekaguman (taajub)
dengan mengikuti wazan taajub itu sendiri. konsep taajub
menawarkan dua wazan yang dapat
diikuti dalam membuat ungkapan kekaguman (taajub) yaitu مَا
اَفْعَلَهُ dan اَفْعِلْ
بِهِ kedua wazan tersebut adalah fiil
madhi, meskipun untuk wazan yang kedua berbentuk fiil amar.
Pengi’roban lafadz مَا
اَفْعَلَهُ dapat diperinci sebagai berikut; مَا adalah isim nakiroh yang memiliki makna
ungkapan kekaguman (taajub), dibaca rofa’ karena menjadi mubtada’.
Sedangkan, khobarnya adalah jumlah fiilyah اَفْعَلَهُ . اَفْعَلَ adalah fiil madhi, mabni ala al-fathi, dan merupakan fiil ma’lum sehingga
butuh maf’ul bih. Untuk maf’ul bihnya adalah dhamir هُ.
sedangkan, untuk pengi’roban اَفْعِلْ بِهِ dapat diperinci sebagi berikut; اَفْعِلْ adalah fiil madhi yang secara lafadz
berbentuk fiil amar karena
untuk memunculkan makna taajub. اَفْعِلْ mabni ala al-fathi yang fathahnya tidak dikira-kirakan
karena tercegah oleh sukun. اَفْعِلْ adalah fiil ma’lum, untuk failnya
adalah dhomir هُ yang jatuh setelahnya. Seadangkan untuk huruf jarnya
adalah zaidah (tambahan).
Oleh
karena lafadz اَبْصِرْ
بِهٖ وَاَسْمِعْ mengikuti wazan taajub yang kedua, maka ia sebenarnya adlah fiil
madhi. Tapi karena tuntutan wazan yang bertujuan untuk memunculkan
makna taajub maka ia harus didatangkan dengan bentuk fiil amar. Sehingga
arti dari lafadz اَبْصِرْ
بِهٖ وَاَسْمِعْ adalah “alangkah tajam penglihatan-Nya dan alangkah
tajam pendenagaran-Nya” bukan diartikan “lihatlah! dan degarlah!”.
Kesimpulannya
kita memerlukan perangkat keilmuan yang banyak untuk memahami teks al-qur’an
khususnya dalam kaidah nahwu dan sharaf, karena keduanya adalah pendekatan
paling dasar untuk dapat memahami al-qur’an. Denagn bekal perangkat keilmuan
yang cukup akhirnya kita tidak bertindak gegabah dalam menghukumi kata per kata
dalm teks al-qur’an.
Posting Komentar untuk "“Jangan Tertipu Pada Pandangan Pertama!” Ternyata Juga Ada Dalam Ilmu Nahwu"