“Jangan Tertipu Pada Pandangan Pertama!” Ternyata Juga Ada Dalam Ilmu Nahwu

Kiranya perlu kita tolak keras jargon golongan sebelah yang berbunyi “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN”. Pasalnya realita yang muncul didalam al-qu’an tidak semerta-merta langsung bisa dipahami dengan sebatas memandang lafadz per lafadznya, apalagi dengan hanya membaca terjemahannya. Banyak perangkat ilmu lain yang harus terlebih dahulu dipahami untuk bisa memahami al-qur’an dengan benar. Pendekatan paling sederahana dalam memahami al-qur’an adalah dengan memahami ilmu nahwu dan sharaf. Karena kedua ilmu ini membahas tata Bahasa Arab yang notabenenya adalah bahasa al-qur’an.

Mengesampingkan ilmu nahwu dan sharaf dalam rangka memahami al-qur’an merupakan kesalahan yang fatal. Karena banyak sekali ditemukan contoh dalam al-qur’an yang tidak bisa diketahui maknanya tanpa melewati pintu masuk berupa ilmu nahwu dan sharaf. Semakin banyak teori nahwu dan sharaf yang dikuasai oleh seseorang maka akan semakin matang pula pertimbangannya dalam menguak makna dari teks al-qur’an. Hal ini juga berlaku sebaliknya, semakin sedikit teori yang dimiliki seseorang maka akan semakin dangkal tingkat analisisnya terhadap teks al-qur’an.

Didalam al-qur’an banyak ditemukan lafadz yang penampakan dzahirnya tidak menentukan status sebenaranya dari lafadz tersebut. Sebagai contohnya dalam surat al-kahfi ayat 26

قُلِ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوْا ۚ لَهٗ غَيْبُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْۗ مَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّلِيٍّۗ وَلَا يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهٖٓ اَحَدًا

Katakanlah, “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua). Milik-Nya semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. Tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain Dia dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.

Poin yang harus digarisbawahi sebagai contoh dzahir lafadz tidak menentukan status sebenarnya dalam ayat tersebut adalah pada lafadz اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْ . Bagi seseorang yang kurang membaca teori nahwu dan sharaf pasti ia akan menganggap kedua lafadz ini adalah fiil amar. Memang kesimpulan mereka sangat didukung dengan dzahir lafadnya. Tetapi apakah memang benar kedua lafadz tersebut adlah fiil amar menimbang arti yang tidak cocok ketika dianggap sebagai fiil amar?. Sedangkan bagi seseorang yang banyak menguasai teori ilmu nahwu dan sharaf, ia tidak akan gegebah dalam menghukumi sebuah status kalimah. Ia akan berpikir dua kali untuk kemudian berani menentukan status kalimahnya.

Memang, secara dhahir, lafadz اَبْصِرْ dan  اَسْمِعْ adalah fiil amar. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam lagi kedua lafadz tersebut adalah bentuk wazan taajub (ungkapan kekaguman). Terdapat dua pembagian tentang konsep taajub; secara qiyasi dan sama’i. Sesuai namanya untuk pembagian taajub yang secara qiyasi kita dapat membuat ungkapan kekaguman (taajub) dengan mengikuti wazan taajub itu sendiri. konsep taajub menawarkan  dua wazan yang dapat diikuti dalam membuat ungkapan kekaguman (taajub) yaitu مَا اَفْعَلَهُ  dan اَفْعِلْ بِهِ kedua wazan tersebut adalah fiil madhi, meskipun untuk wazan yang kedua berbentuk fiil amar.

            Pengi’roban lafadz مَا اَفْعَلَهُ   dapat diperinci sebagai berikut; مَا  adalah isim nakiroh yang memiliki makna ungkapan kekaguman (taajub), dibaca rofa’ karena menjadi mubtada’. Sedangkan, khobarnya adalah jumlah fiilyah اَفْعَلَهُ . اَفْعَلَ adalah fiil madhi, mabni ala al-fathi, dan merupakan fiil ma’lum sehingga butuh maf’ul bih. Untuk maf’ul bihnya adalah dhamir هُ.

sedangkan, untuk pengi’roban اَفْعِلْ بِهِ dapat diperinci sebagi berikut; اَفْعِلْ adalah fiil madhi yang secara lafadz berbentuk fiil amar  karena untuk memunculkan makna taajub. اَفْعِلْ mabni ala al-fathi yang fathahnya tidak dikira-kirakan karena tercegah oleh sukun. اَفْعِلْ adalah fiil ma’lum, untuk failnya adalah dhomir هُ yang jatuh setelahnya. Seadangkan untuk huruf jarnya adalah zaidah (tambahan).

            Oleh karena lafadz اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْ  mengikuti wazan taajub yang kedua, maka ia sebenarnya adlah fiil madhi. Tapi karena tuntutan wazan yang bertujuan untuk memunculkan makna taajub maka ia harus didatangkan dengan bentuk fiil amar. Sehingga arti dari lafadz اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْ adalah “alangkah tajam penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendenagaran-Nya” bukan diartikan “lihatlah! dan degarlah!”.

            Kesimpulannya kita memerlukan perangkat keilmuan yang banyak untuk memahami teks al-qur’an khususnya dalam kaidah nahwu dan sharaf, karena keduanya adalah pendekatan paling dasar untuk dapat memahami al-qur’an. Denagn bekal perangkat keilmuan yang cukup akhirnya kita tidak bertindak gegabah dalam menghukumi kata per kata dalm teks al-qur’an.

 

Posting Komentar untuk "“Jangan Tertipu Pada Pandangan Pertama!” Ternyata Juga Ada Dalam Ilmu Nahwu"